MENGARANG ADALAH
BERJUANG
Menulis buat saya
adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Bertahun-tahun saya belajar dari
tulisan-tulisan orang lain yang saya kagumi. Saya kagum pada cerita-cerita
Pramudya. Ia terasa kokoh. Bahasanya mengalir lancar, kaya dengan
ungkapan-ungkapan baru. Kemudian Toha Mohtar menuntun saya pada kesederhanaan
dan kejujuran. Trisnoyuwono mengajarkan saya keberanian untuk menelanjangi diri
sendiri. Sementara Rijono Pratikto membuat saya sadar betapa penting itu
imajinasi dan plot. Lalu Goenawan Mohammad mengajak saya untuk memperluas
wawasan dan menajamkan gagasan. Pekerjaan sebagai wartawan memberikan saya
pemahaman pada deadline.
Dari penulis-penulis
mancanegara seperti Saroyan, Hemingway, John Steinbeck, Anton Chekov, O. Henry,
Guvy de Maupassant, Edgar Allan Poe, Christian Anderson, Boris Pasternak,
Samuel Beckett, bahkan juga Agatha Christie dan Sir Canon Doyle, saya
mempelajari teknik menyusun plot, takaran dan bobot, pertukaran dan dimensi
menulis. Bahwa menulis itu bukan sekedar bercerita, tetapi juga mengemukakan
pendapat dengan strategi yang diperhitungkan namun tanpa kehilangan rasa dan
spontanitas. Menulis menjadi upaya mengembangkan pikiran-pikiran. Kemudian
terus pada menulis sebagai pemaparan pengalaman spiritual yang bertujuan untuk
memberikan pengalaman spiritual kepada pembaca.
Pada awal menulis,
menerjemahkan ide ke dalam tulisan merupakan saat yang paling melelahkan.
Untunglah saya pernah baca buku Teknik Mengarangnya Mochtar Lubis waktu saya di
SMA, sehingga aya tahu bagaimana mengatasi rasa jemu, lelah dan bagaimana
memikat pembaca. Buku tersebut menyadarkan saya bahwa seperempat bagian dalam
menulis adalah masalah psikologis penulis, seperempatnya lagi masalah teknik
penulisan, seperempat berikutnya wawasan dan seperempat terakhir adalah
gagasan.
Yang tak kalah
pentingnya adalah pertemuan saya dengan penyair dan dramawan Kirjomulyo ketika
ia menyutradarai saya untuk memainkan drama Anton Chekov, Badak, di SMA. Ia
menyadarkan saya bahwa mengarang adalah berjuang. Mengarang adalah menuntut
kerja keras, berbagai upaya, kesetian dan kegigihan. Karena setelah sebuah
karangan selesai, masih banyak yang harus dilakukan agar karangan itu hadir
sebagaimana layaknya. Saya baru menyadari bahwa mengarang itu adalah perjalanan
panjang yang memerlukan kesabaran karena penuh dengan ujian.
Setelah bertahun-tahun
menulis, saya menemukan berbagai kilat, yang mungkin sama mungkin berbeda
dengan kiat-kiat para penulis lainberikut ini kiat-kiat yang saya temukan dalam
bekerja. Kiat ini sama sekali tidak berarti dalil. Sekedar pegangan sementara
untuk memudahkan kerja, sampai terbukti ada kebenaran-kebenaran lain. Saya
percaya kebenaran itu datang perlahan-lahan, tak henti-hentinya mengalir kepada
kita kalau terus bekerja.
Menciptakan dialog
dalam tulisan
Sebuah tulisan yang
baik selalu tersusun dalam struktur. Ada awal, isi dan keimpulan ada
introduksi, analisa dan akhirnya opini. Tapi sejak lama sudah ada berbagai
terobosan yang mengacak urutan, sehingga kesimpulan bisa ditempatkan di awal,
kemudian mundur perlahanmemberikan introduksi dan kemudian analisa. Ini membuat
tulisan jadi dinamis. Namun kadang bisa malah makin ruwet.
Struktur tulisan di
atas sudah beragam dan tidak bisa dibandingkan untuk mencari mana yang terbaik.
Materi tulisan, format, karakter penulis, bahkan setting ke mana dan kepada
siapa seta dalam situasi bagaimana tulisan itu dilahirkan, memberi andil
terhadao struktur yang dipilih. Karena struktur pada akhirnya adalah bagian
dari strategi, untuk membuat tulisan lebih bunyi kepada pembaca.
Strategi sendiri adalah
bagian dari teknik penulisan. Teknik penulisan, menentukan wujud dan karakter
isi pikiran yang hendak disampaikan. Ia bukan hanya struktur, ia juga
mengandung pertimbangan psokologis yang memberikan emosi kepada tulisan,
sehingga tulisan menjadi hidup.
Sebuah tulisan yang
hidup adalah tulisan yang tidak hanya merupakan monolog penulis, tetapi juga
menyiapkan ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya diaolog dengan pembaca.
Tidak benar bahwa sebuah tulisan adalah komunikasi satu arah. Karena dengan
teknik yang telah tentunya didasari oleh niat penulisnya, dapat dirakit sebuah
tulisan yang pada dasarnya monolog itu menjadi sebuah kesempatan diaolog. Untuk
itu ada beberapa upaya.
Dialog dimungkinkan
dengan mengikutsertakan pikiran-pikiran orang lain, baik yang sepaham maupun
yang bertentangan dengan penulis. Tentu saja dengan berbagai pertimbangan.
Antara lain bahwa dia kemungkinan besar dapat mewakili atau menampung protes
suara pembaca yang tentunya beragam. Sehingga tulisan menjadi semarak dengan
berbagai pemikiran, tak ubahnya seperti sebuah seminar atau pasar ide yang
demokratis.
Seringkali
pikiran-pikiran lain itu justru dituntut dan diharap-harap serta diburu-bur
kehadirannya, untuk menjadi lawan cakap/sparring partner bagi pemikiran kita.
Karena ia akan merupakan ujian pertama dan terkahir bagi pikiran kita. Karena
kalau sampai pemikiran kita gugur, bahkan kalaupun nampak lemah dari awal,
dengan sendirinya memang tak layak dikemukakan.
Lawan-lawan rembug tersebut
akan menjadi lebih bagus kalau ia begitu menantang, liat, lihai dan kuat.
Bahkan kalau saja ia nyaris mampu menghancurkan suara yang hendak kita usung,
itu akan membuat tulisan kita makin solid dan monumental. Bahkan andaikan pun
kita kalah dan kita berhasil menyerah dengan jujur, pikiran-pikiran kita tetap
akan merupakan tontonan tersendiri. Karena kejujuran, lepas dari menang atau
kalah, adalah pesona tersendiri yang luar biasa.
Tapi tidak gampang
memang untuk tampil jujur, karena sedikit saja ada pretendi, dan pembaca
berhasil mengendusnya, itu sudah cukup untuk membatalkan kejujuran tersebut.
Kejujuran berarti menelanjangi diri sendiri habis-habisan. Kalo masih ada yang
ditutup-tutupi kejujuran itu akan kehilang tenaganya. Karena itu soal pertama
yang harus diselesaikan untuk bisa tampil jujur adalah mengalahkan diri
sendiri. Hanya dengan kepasrahan yang tulus, seluruh kalimat menjadi suci dan
apapun yang dikatakan akan bersinar. Segala kelemahan dan ketidaksempurnaan
bahkan kekalahan pun menjadi punya kelebihan tersendiri.
Sesorang penulis yang
sudah terlatih, yang memiliki wawasan yang luas dan jujur tidak akan terganggu oleh pikiran orang lain yang
ditaburnya dalam tulisannya. Ia bahkan dapat membuatnya menjadi orkes simphoni
yang indah.
Seorang penulis yang
berpengalaman dan punya wawasan sudah akan dapat menangkap suara pembaca dalam
setiap baris yang ia tulis, bantahan, protes ataupun seruan setuju para
pembacanya. Dengan pengtahuan yang mendahului terhadap reaksi pembaca, ia
melakukan dua hal sekaligus, yakni: sambil menuliskan pikiran-pikirannya ia
juga tak lupa menjawab pertanyaan pembaca. Akibatnya ia akan menakar uraiannya,
khususnya pada bagian kesimpulan dan opini, sehingga oada akhirnya dengan
berbagai cara, ia punya kesempatan besar untuk diterima oleh pembaca yang
berbeda pendapat, karena pendapat yang sudah masuk dalam hitungannya.
Menulis dengan demikian
tidak sama dengan orang ngoceh. Menulis adalah membangun opini orang dengan
cara memamerkan opini kita. Tapi opini tak bisa diserahkan begitu saja tanpa
memberi latar belakang. Sebuah tulisan yang baik selalu juga berarti
serangkaian informasi. Dengan menjelaskan setting masalah secara jelas, seorang
penulis menyediakan ruang pada pembaca untuk bertanya dan mendebat. Kendati
pada akhirnya, tulisan ditutup dengan melangkah sambil menjawab, kesimpulannya
akan cenderung sulit dibantah. Inilah yang membuat tulisan yang bagaimanapun
tajamnya tidak akan terasa menyerang. Pembaca bahkan akan menghormatinya
sebagai alternatif berpikir.
Posisi, Gaya, Akhir
yang Mengambang
Apakah penulis dalam
menuliskan gagasannya akan memposisikan diri sebagai guru kepada murid, atau
seorang murid kepada guru, atau juga seorang teman kepada teman yang lain,
ketiga posisi ini sebenarnya bernilai sama, apabila ditempatkan sebagai gaya.
Sebuah gaya dalam
menulis adalah aksi tambahan yang membuat tulisan memiliki pesona. Salah kalau
gaya dilihat hanya sebagai pemoles.
Sebab untuk menentukan gaya, itu sangat tergantung dari materi yang
disampaikan, watak penulis, serta juga kondisi umum para pembaca. Gaya adalah
refleksi gabungan dari hasil studi terhadap materi yang disampaikan,
keterbatasan diri penulis dan kondisi konkret pembaca. Gaya tidak main seruduk
begitu saja. Tidak sekedar jiplakan dari ulah orang lain yang dikagumi. Gaya
adalah bagian dari upaya dan strategi dan sama sekali bukan tujuan, meskipun
memang sangat mempengaruhi efisiensi dalam mencapai tujuan.
Dengan gaya, tulisan
menyusun siasat untuk merebut hati dan pikiran pembaca agar tetap berkosentrasi
pada tulisan, baik pada bagian-bagian yang penting, dan khususnya pada
bagian-bagian yang kurang menarik. Gaya akan membuat tulisan semacam tontonan.
Gaya adalah irama, adalah musik, adalah dinamika, yang dapat membuat orang lupa
waktu. Gaya menyulap yang sulit menjadi ringan. Serta yang buram menjadi
bening. Gaya yang tepat dan otentik akan membuka hati pembaca dan penulis
sendiri di dalam memproses tulisan. Gaya memberi tenaga. Tetapi sebaliknya,
gaya yang hanya sekedar aksi, akan terasa kosong. Ia menjadi kanker di tubuh
tulisan. Musuh dalam selimut yang menghancurkan makna tulisan dari dalam.
Bila tiga posisi
tersebut di atas berhasil tampil ke hadirat pembaca bukan hanya sebagai sekedar
ganya, maka kesan menggurui, kesan membodohi dan kesan tak sopan, akan menjai
hiburan yang tidak mengurangi penghargaan kepada materu yang hendak
disampaikan. Dengan kata lain, ulang menggurui, aksi membodohkan pembaca dan
tindakan anarkis dalam sebuah tulisan tidak selamanya negatif. Dengan
menjadikannya gaya atau mendisiplinnya sebagai gaya, maka ketiga tindakan
tersebut dengan sendirinya akan mengandung tanda-kutip dan kemudian langsung
berubah artinya menjadi kekuatan positif. Ia bahkan terasa akrab dan
terus-terang. Namun sedikit saja salah, sedikit saja tidak awas, sebentar tidak
ketat, sedikit saja gaya itu melenceng menjadi tujuan, serta-merta ia akan
menghancurkan seluruh kegunaannya dan kembali kepada artinya yang asli sebagai
pencekokan, penindasan dan tindakan sewenang-wenang kepada pembaca.
Cara untuk membuat ketiga
posisi tersebut hanya sekedar gaya, antara lain, sekali lagi antara lain,
adalah dengan menata akhir tulisan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang
mengambang. Pembaca diangkat lagi terbang ke dalam ruang hampa dimana tidak ada
hukum gravitasi. Seluruh gerakan adalah murni tergantung dari pembaca sendiri.
Setelah diberikan begitu banyak informasi, ia diberi kesempatan untuk memilih
terbaik baginya. Pembaca dibebaskan dari prasangka bahwa ia sudah diprogram,
karena dia sendirilah yang berhak dan wajib memprogram dirinya.
Dengan membuat
pertanyaan yang mengambang, pembaca akan merasa dirinya dilibatkan dan
diperhitungkan. Kesimpulan yang hendak diucapkan oleh penulis akan diucapkan
sendiri oleh pembaca. Minimal pembaca akan menemukannya sendiri tanpa dikonkretkan,
walaupun belum tentu yang bersangkutan setuju.
Namun dengan membuat
pembaca berada dalam posisi psikologis: :sudah berhasil menemukan sesuatu yang
tersembunyi” – walaupun penemuan itu belum tentu disetujui – pembaca akan
merasa puas, terhormat, pinta dan berharga. Sebagai akibatnya mereka akan
merasa sama sekali tidak rugi sudah menghabiskan waktunya untuk membaca.
Apalagi kalau kesimpulan itu memang disetujuinya. Tidak disetujuinya pun ia
akan merasa dipuaskan.
Sebuah tulisan yang
kuat akan memiliki daya pukau. Dan di situ kebenaran dan logika menyarah
sesaat. Di situ penulis memiliki kesempatan yang bebas seklai untuk menembak
apa saja, siapa saja, bagaimana saja serta kapan saja. Tetapi dalam waktu yang
relatif terbatas. Karena itu, penulis harus benar-benar memformulasikan secara
tepat apa yang hendak dikatakannya dan jangan sampai menjadi rancu dan sesat,
apalagi tekecoh untuk menikmati saat yang penuh kemenangan itu. Saat membuat
seorang penulis menjadi seakan-akan seorang pencipta dengan p kecil.
Tetapi bahaya dari
kesimpulan yang mengambang, sukup besar. Pembaca yang sama sekali tidak bisa
menikmati gaya tulisan, yang membaca cepat dan memungut poin-poin pentingnya
saja, mungkin akan kecewa. Ia akan merasa terkecoh sudah buang-buang waktu. Pembaca
yang juga tidak terbiasa menikmati bahasa apalagi gaya, akan merasa tulisan
tersebut membingungkan, karena berakhir dengan pertanyaan. Di situ penulis itu
memerlukan sebuah jembatan apresiasi. Sebuah penafsiran. Sebuah kritik, dan
kritik bukan suatu yang subur di Indonesia. Lembaganya belum tegak secara baik,
kritikus pun belum banyak.
Sudut Pendang
Setiap tulisan juga
punya sudut pandang yang besar sekali pengaruhnya pada bobot tulisan. Persoalan
yang sama, dengan data yang tak berbeda, dapat dibikin baru, karena menukar
sudut pandang. Penukaran ini bukan saja akan mengunadang kesegaran, tetapi juga
keanehan, keunikan kejelian dan pesona.
Sebuah materi yang
bagus bila tak disertai sudut pandang yang tepat, bisa mubazir. Sebaliknya,
dengan sudut pandang yang cerdik, sesuatu yang biasa, remeh, bahkan klise, bisa
seolah terasa baru dan menarik. Sudut pandang adalah bagian kosmetika
penulisan. Tidak hanya kosmetika, ia juga dapat secara fantastik mengubah
materi yang dibicarakan.
Masalah-masalah besar,
sudah cukup atrakrif bila dibedah dari sudut pandang standar. Bila ditembak
dari sudut pandang lain, ada kemungkinan malah sesat dan kusut. Berbeda dengan
masalah-masalah kecil dan sederhana yang memerlukan satu sudut pandang yang
diperhitungkan orang, agar membuat materi keluar lebih menohok.
Sudut pandang tiap
maslah, tidak terbatas. Tapi kesalahan memilih sudut padang akibatnya bisa
fatal. Apabila ada kesulitan, ada baiknya kita mengambil sudut pandang standar.
Hanya dengan penguasaan yang bulat atas masalah, dapat dikembangkan sudut
pandang yang kontraversial, sehingga tulisan memberikan sesuatu yang baru.
Masalah kebaruan dala
tulisan kadang tumpang tindih dengan kesegaran. Keduanya sangat dekat tapi bisa
dibedakan. Sesuatu yang baru memang cenderung segar, namun sesuatu yang segar
tidak harus baru. Tidak baru tetapi ditembak dari sudut pandang lain dapat
menimbulkan kesegaran. Ini adalah dari kreativitas.
Kreativitas
Lalu apa sebenarnya
kreativitas? Kreativitas dalam menulis adalah upaya untuk mengutak-atik sesuatu
yang sederhana menjadi baru, menarik, bahkan kontroversial. Menyederhanakan
materi yang berat menjadi tulisan yang sederhana dan komunikatif, tanpa
kehilangan esensinya adalah bagian dari kreativitas. Sebaliknya, membuat ruwet
materi yang sederhana sehingga tak terpahami adalah kegagalan dam penulisan.
Bentuk kreativitas
dalam menulis ada macam-macam. Tidak terbatas hanya pada menyederhanakan yang
sulit-sulit. Mengembangkan hal-hal sepele menjadi penting, membuat sesuatu yang
kering menjadi memikat, membuat yang tak pernah dilakukan sebelumnya namun
tanpa terasa sebagai coba-coba dan sebagainya adalah kreativitas. Kreativitas
adalah berbagai upaya yang dipakai seorang penulis untuk membuat paket
tulisannya menggigit. Jadi, kebaruan yang muncul seperti sudah disebut di atas
hanyalah salah satu aspek. Sasaran lebih lanjut dari kebaruan itu adalah agar
tendangannya pada pembaca lebih telak.
Sebuah tulisan yang
baik menembak pembacany di tempat. Tapi sebuah tulisan yang baru berhasil
menembak pembacanya setelah beberapa hari, beberapa bukan, bahkan beberapa
tahun, juga bukan tulisan yang buruk. Karena berat ringan masalah berbeda. Juga
empuk tidaknya sasaran, peka tidaknya pembaca sangat menentukan apakah tulisan
itu akan bunyi apa tidak. Untuk itu, seorang penulis harus punya kesabaran,
yang dalam hal ini berarti kebijaksanaan-kematangan.
Tulisan yang Menggigit
Bagaimana sebuah
tulisan bisa menggigit adalah persoalan penulisan, bukan soal materi. Karena
sebuah materi yang besar pun bisa hambar, apabila tidak dirumuskan dengan baik.
Sebaliknya, masalah yang sederhana, bila dirakit sedemikian rupa, akan menjadi
tajam dan memiliki tenaga tembus, sehingga pembaca jadi terusik atau tergugah.
Membuat tulisan jadi
tajam adalah mempersempit sudut bidik, sehingga sasaran yang diincar jadi
jelas. Masalah dengan sendirinya seperti diteropong deng mikroskop.
Urat-uratnya pada keluar. Kadang tidak diperlukan informasi dari penulis,karena
pembaca sendiri dapat menyertakan seluruh informasi yang diketahuinya tentang
sudut itu, yang membuat titik itu terang dan tajam.
Menajamkan tulisan bisa
pula dilakukan dengan cara sebaliknya: memperlebar sudut bidik. Sehingga seting
besar dimana titik yang ditembak itu berada, bisa tergambar seluruhnya. Dengan
membentangkan duduk perkara, titik itu menjadi jelas dengan sendirinya..
Menajamkan tulisan juga
dapat dengan cara menghindari titik itu. Penghindaran yang disengaja ini akan
menyebabkan titik itu justru memburu-buru bidikan. Dia akan mengejar pembaca
dan memamerkan dirinya. Ketajaman sebagai akibat penghindaran ini memang agak
spekulatip, namun sangat efektif dalam menghindari cekalan apabila situasi
penulisan tidak bebas karena berbagai kendala atau sensor.
Walhasil, penajaman
bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan cara mengumpulkannya
(tumpulogi). Trend yang pernah dibikin Jaya Suprana, misalnya penajaman terjadi
justru dengan berkutat di keliru-kelirunya. Jadilah kelirumologi.
Permainan dan Bagaimana
Mengakhiri Tulisan
Kondisi jiwa pembaca
selalu tak diperhitungkan dalam tulisan ilmiah, tidak ambil pusing dengan emosi
suka tidak suka. Karena sasarannya adalah pembelajaran bukan permainan.
Sementara karya fiksi,
features dan justru mengajak pembaca untuk bermain. Kondisi jiwa pembaca
menjadi perhitungan dalam penulisan. Dengan mengajak pembaca bermain, kadang
jelas gamblang, kadang misterius penuh tanda tanya, proses penyampaian menjadi
peristiwa estafet. Tongkat bergulir dari tangan ke tangan sampai mencapai
tangan terakhir untuk mengantarkan ke garis finish. Pelari terakhir adalah
pelari yang paling jago. Sehingga menulis pada akhirnya adalah persoalan
bagaimana mengakhiri dan menutup permainan. Tulisan yang cantik, lugas dan
memukau, lalu diadili sekali lagi di akhir tulisan. Karena itu, menutup
tulisan, sebagaimana membukanya, adalah peristiwa yang teramat penting yang
memerlukan kiat dan tenaga.
Ada akhir yang
dipestakan dengan kibaran bendera kemenangan. Tapi kemenangan penulis bisa
berarti juga kekalahan pembaca. Dan kekalahan semacam itu tidak selamanya berarti
pengakuan, penghormatan dan takluk. Bisa juga berarti antipati. Seluruh pukau
yang tercipta bisa mubazir bila pembaca akhirnya merasa seluruh tulisan adalah
peristiwa kekalahannya.
Ada pembaca yang merasa
nikmat dalam kekalahannya. Ada penulis yang merasa menang dan kekalahan semacam
itu tidak lama usianya. Yang abadi adalah kekalahan dan kemenangan yang tidak
dipestakan. Bahkan disadari pun tidak. Kekalahan dan kemenangan abadi adalah
kekalahan yang menang dan kemenangan yang kalah. Keduanya datang serentak dalam
satu paket. Sesuatu yang nampaknya mustahil tetapi sudah kita lakukan setiap
hari karena teori harmoni sudah mendarah daging dalam diri kita yang dari
tradisi kita. Roh tradisi penulisan kita tak akan memerlukan banyak tenaga
untuk mempraktekkannya, karena sudah ada dan sudah hidup di dalam diri kita.
Semua kita tinggal memupuk dan menjaga nyalanya agar terus berkobar dalam batas
bermanfaat.
Berfikir Kritis dan
Proses Kreatif
Berpikir kritis adalah
kewaspadaan dalam menyimak untuk mendapatkan posisi yang paling akurat dari
subyek yang sedang dibahas, berpikir kritis adalah penyimakan yang waspada. Dan
seluruh apa yang saya tulis di atas adalah
bagian dari proses kreatif, bagian dari berpikir kritis; tentunya menurut
pemahaman saya.
(Di depan guru-guru
pemenang karya tulis)
Astya Puri, 14 November
1998
PERMENUNGAN DAN
PENGAPUNGAN
Surat ini takkan mungkin bisa dikirimkan. Takkan mungkin
sampai ke tanganmu. Lihat, dia tetap kutulis, untukmu – kau, yang sedang
berbahagia dalam suasana pengantin baru.
Akan tetapi terkenang
peristiwa yang satu itu: kau datang bersama calon suamimu dan seroang penghulu,
yang begitu terburu-buru kuatir tertinggal kereta rejeki.
Tentu saja kau tahu,
tak ada keberatan padaku kau memilih seroang suami untuk dirimu sendiri. Juga
aku percaya, kau akan tetap ingat pesanku pada calon suamimu sebelum kau
menikah di depanku: Anak ini anakku yang pertama, anak yang aku sayangi. Dahulu
neneknya berharap ia jadi dokter, ternyata ia akan menjabat jadi isterimu.
Jadi, setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-kali anakku dilarang
atau dihalangi kalau dia mau meneruskan pelajarannya. Kedua, tidak aku ijinkau
anakku dipukul atau disakiti. Ketika, anak ini kau pinta padaku untuk
diperisteri secara baik-baik, kalau karena sesuatu hal kau tidak menyukainya
lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku.
Dan sejak itu kau tak
pernah datang menjenguk aku lagi. Maaf, aku tak peranah mengingat tanggal dan
bulannya. Malah nama suamimu aku tak dapat mengingat sesuku pun, apa pula
pekerjaan dan pendidikannya. Walhasil semua itu terserah padamu, kau sudah
memilih, juga memilih tanggungjawab.
1969 kau tinggalkan
RTC Salemba, pamit untuk memulai hidup
sebagai seorang isteri. Beberqapa kali kau masih melihat ke belakang sebelum
pintu raksasa itu mengantarkan kau lepas
ke jalan raya. Orang yang setelah pernikahan itu menjadi suamimu beberapa kali
masih membungkuk member hormat. Dan waktu pintu raksasa itu kembali tertutup
habislah sudah basa-basi itu. Kau memasuki bulan madu. Aku juga pergi. Ke
pembuangan.
Bagaimana harus
dinilai? Karunia? Atau Kutukan? Bila orang tak dapat membebaskan diri dari
waktu yang tiga dimensi: lalu, kini dan depan?
Dulu di penjara
Bukitduri, pernah aku belajar menyanyi lagu yang dibuka dengan kalimat There’s
happy land somewhere – lambang hari depan untuk setiap orang. Dengan pimpinan
sang harapan, dengan keringat sebagai lambing jerih payah sendiri, dengan masa
kini sebagai titik tolak, dengan masa lalu sebagai pesangon, ia bergerak menuju
ke Happy land somewhere. Orang tak tahu pasti. Maka juga disusul oleh And it’s
just a prayer away….
Betapa indah kadang
lagu-lagu itu, kalau suasana tepat dan syarat pun tidak disibuki oleh
tetek-bengek.
Somewhere, anakku. Dan
where to? Kau, negeri bahagia, di mana kau sesungguhnya? Orang dididik untuk
percaya, negeri tujuan memang kebahagiaan itu. Dan kepercayaan yang diperoleh
secara mudah juga bisa hilang dengan mudah.
16 Agustus 1969. Kau
berbulan madu di Happy land yang sudah jelah. Aku ke happy land somewhere:
Konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok
akalu tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama
lebih delapan ratus orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun
Republik Indonesia.
Untuk dapat naik ke
kapal dari tiga ribu lima ratus ton bobot mati ini kami harus datang ke
pelabuhan Sodong di Nusa Kambangan, di tentang pelabuhan Cilacap, Wijayapura.
Tiada kan kututup mata
kepalaku, juga tidak mata batinku. Kapal ini akan membawa kami bersama masa
depan dalam impian dalam kepercayaan itu. Pulau Buru bukan The happy land
somewhere. Dia hanya stasiun perantara. Juga untuk itu dibutuhkan kepercayaan.
Kapal mulai bersuling
lambat-lambat meninggalkan Sodong dan Wijayapura. Kehidupan hutan dan
gunung-gemunung Nusa Kambangan Nampak mulai bergerak. Dan pantai putihnya makin
lama makin menghilang dari nagkauan mata. Bila pandangan dilepaskan ke selatan,
hanya kebiruan Samudera Hindia yang terbentang, tanpa batas, sampai ke kaki
langit. Bila ke utara, yang Nampak adalah tebing-tebing terjal panta selatan
Jawa. Jangan dengarkan nafas mesin kapal bobrok yang terengah-engah itu.
Kami sedang berlayar,
seperti nenek moyang dulu di jaman migrasi untuk menemukan daratan dan
kehidupan baru. Kesadaran sajalah yang membikin diri tahu, kami sedang ada di
perairan tanah air sendiri, Negara maritime dengan tiga belas ribu pulau. Kata
orang, setiap di antara pulau itu adalah juga milik kami, juga setiap cangkir dari
perairan antara dua samidera itu, Hindia dan Pasifik. Itu ajaran klasik di
sekolah. Lebih nyata dapat dipegang adalah ucapan Petu Marzuki di RTC Salemba:
Kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari
kami hak untuk bernafas pun dirampas). Ajaran klasik ternyata bisa bermuka dua.
Bukan hanya laut, juga seluruh isinya.
Seluruh bumi dan isinya, juga langit, garis lurus sampai akhir tatasurnya kita.
Antara kenyataan dengan janji sudah tak ada status quo. Kapal kami bergoyang
dan bergeleng-geleng. Kami berlayar dalam ruang dengan pintu besar dari jeuji
besi, dan dikunci, dalam sekapan, daalm tiga ruang besar di bawah dek. Melihat
langit pun tidak lagi ada hak, jangankan memiliki atau ikut memiliki. Sepreti
orang-orang Cina yang diculik dalam kapal Kapiten Bontekoe, serperti
tawanan-tawanan culikan Cina lain dalam kapal-kapal tokoh Michener yang
diangkut ke Hawaii, seperti nasib empat juta penduduk Afrika dalam kapal
Inggris dan Amerika, menyeberangi Atlantik dibawa ke benua baru.
Di antara delapan ratus
teman sekapan dalam kapal ini, sebagaimana biasa, aku tetap merasa seorang
pribadi. Dan pribadi yang masih dapat bergerak dengan sepenuh kesehatan.
Terlalu banyak di antara kami belum pernah beranjak dari desanya, tak pernah
melihat laut. Warganegara negara maritim ini!
Kau dengar? Warganegara yang di sekolah dasar diberitahu, mereka
keturunan bangsa bahari penejelajah lautan. Sebagian besar di antara kami pada
menggeletak di ambinnya atau di geladak begitu kapal memasuki laut lepas –
muntah dan muntah, terkulai bergelimpangan.
Ingat kau waktu kita
berangkat ke Eropa tahun 1953 dulu? Kau masih kecil berumur tiga tahun. Kau pun
tak pernah mabuk laut dalam pelayaran selama 26 hari itu. Jangan tertawakan
mereka yang dalam tubuhnya menanggung h.o . Banyak diantara mereka berasal dari
penjara yang selama bertahun hanya member jatah makan 3 kali sekaleng semir
sepatu. Ada yang dengan tinggi 160 cm, berbobot 29 kg. betapa mahal memang yang
harus dibayar untuk boleh menyebut diri warganegara Indonesia. Teman-teman dari
penjara-penjara Jakarta lebih beruntung, intipan mata internasional lebih
leluasa. Kau belum pernah melihat bagaimana abnormal tingkah dan pikiran tubuh
yang kurang dari lima puluh persen berat badan minim yang seharusnya. Dan
matanya kelihatan besar melotot, terlalu besar, tapi tak semua yang dilihatnya
nampak jelas, kulitnya kering, dan perbukuan-perbukuannya seperti tinju
kingkong, menolehnya tidak menentu dan lamban, sedang pandangan matanya
tertebar ke mana-mana tanpa tujuan pasti. Pemandangan biasa di masa pendudukan
Jepang memang, dan pemandangan biasa dalam kehidupan tapol RI kurun ini. Namun,
bergelimang dalam muntahan sendiri, semangat hidup mereka menyala. Tentu bukan
karena porsi pertama di atas kapal nasi sepiring penuh dengan sepotong daging
atau sepenuh telor: mereka ingin dapat saksikan akhir segala ini! Dan, karena
hidup memang indah bagi mereka yang tahu
menggunakannya, dan bagi mereka yang punya cita-cita. Ya, biarpun sekaran ini
bangun dan tidur pun perlu dapat bantuan teman-teman yang masih sehat atau
setengah sehat. Orang-orang semacam kami ini pada setiap tahun belakangan ini
menjelang puasa dapat dipastikan diajari oleh ulama yang didatangkan dari dunia
bebas, tentang pentingnya berpuasa menahan lapar, menahan nafsu….
Kau tak pernah
menderita sejak kecil. Kau anak bangsa merdeka, yang memang tidak patutu
menderitakan kelaparan hanya karena ketidabecusan orang lain. Aku sendiri anak
bangsa jajahan. Bila dalam hidupku pernah aku alami masa kelaparan yang panjang
dan berat, wajarlah itu, biarpun makanku memang tak bisa banyak. Lapar perlu
diterima sebagai sahabat yang tidak menyenangkan. Dalam sekapan di RTC Salemba
dan Tangerang selama hampir 4 tahun memang aku tak begitu lapar berbanding yang
lain-lain.; keluarga tetap berusaha mengirim makanan dua atau tiga kali
seminggu. Dan sekalipun yang diterima tidak selamanya utuh, dikurangi untuk
makan bersama kelompok makan, dan dikurangi lagi untuk dana umum seluruh
penjara. Betapa keluarga-keluarga itu tidak membiarkan kami mati kelaparan! Dan kelaparan itu sendiri
apalah bedanya antara pembunuhan sistematis dengan akibat kerakusan para
pejabat? Biar yang berkepentingan yang menjawab. Setidak-tidaknya, dengan jatah
penjara saja, orang akan tewas. Volume makan kurang gizi? Volume dan gizi juga senjata di tangan
pembunuh. Itu di Jakarta. Bukan di Klaten atau Sukoharjo atau Pacitan atau
Kebumen yang jauh dari intipan mata internasional!
Sebelum kapal berangkat
meninggalkan Nusa Kambangan, kelaparan sudah bermain drama dalam usus besar.
Kepala penjara Karang Tengah di pulau Nusa Kambangan pernah memanggil aku,
mengajak bicara-bicara. Kesempatan untuk mengajukan perbaikan makan. Ia tidak
berdaya. Kebaikannya, yang aku berterima kasih padanya, kutolah dengan modal
yang satu-satunya itu: terima kasih. Ia menawarkan: kalau hanya untuk Pak Pram
pribadi dan Pak Prapto, saya sanggup membantu dari dapur saya sendiri. Waktu
kami dijemur hampir seharian menunggu datangnya kapal di tanah lapang pelabuhan
Sodong, sambil menyaksikan teman-teman lain dihantami para petugas karena
bertukaran pakaian pembagian – maklum pakaian itu tanpa mengindahkan ukuran
badan yang menerima –kelaparan itu sudah sampai pada titik tinggi
kegarangannya. Kami yang berjongkok pada sejulur pagar bluntas beramai-ramai
merengguti daun bluntas penuh debu jalanan dan mengganyangnya mentah-mentah
tanpa dicuci terlebih dahulu. Kalau air untuk mencuci pun ada; kami tak akan
bisa meninggalkan barisan tanpa kena hajar. Jan jangan kau muntah melihat kami
makan tikus kakus yang gemuk lagi besar itu, atau bonggol batang papaya atau
bongo pisang – mentah-mentah – atau lintah darat yang ditusuk dengan lidi.
Bahkan Drs. J.P. bisa menelan cicak hidup-hidup setelah dipotesi telapak
kakinya yang empat. Ia ahli menangkap cicak. Dengan ibu jari dan telunjuk ia
menjepit tengkuk binatang celaka itu dan hewan perangkak itu pun disorong masuk
ke gua tenggorokannya. Keberanian menantang kelaparan adalah kepahlawanan
tersendiri.
Kapal kami bukan
seperti yang pernah kau tumpangi ke Eropa, Oldenbarneveldt, dengan kecepatan 16
mil/jam itu, juga bukan seperti Oranje membawamu pulang dari Eropa ke Jakarta.
Seperti bumi dengan langit. Kapal-kapalmu dilapisi kayu terpolis mengkilat.
Lantainya dibersihkan setiap hari –kapal-kapal belanda itu. Tak ada seekor
kecoak Nampak merenung atau mondar-mandir menaksir dunia dengan sungutnya yang
terlalu panjang. Kapalku dikuasai kecoak, siang dan malam. Kadang aku tersenyum
geli mengingat betapa binatang pelari-penerbang itu, kadang lincah kadang lambat,
sudah begitu Berjaya dalam ikut membonceng berkuasa atas diri kami.
Kami berasal dari
banyak penjara P. Jawa. Bukan dari Jakarta saja. Dan rombongan Jakarta mendapat
ruangan di hidung haluan. Ujung terdepan, tertinggi berbanding
rombongan-rombongan yang lain. Paling depan sekali adalah ruang besar kamar
mandi dan kakus. Betapa pun terhina dan dihina tapol RI ini, umumnya masih tahu
dan ingat kebersihan yang pernah diajarkan oleh orang tua dan sekolah dasarnya.
Begitu memasuki ruangan yang ditujuk, ruangan di mancung hidung haluan di bawah
dek, kontan balik kanan jalan, hidung disumbat. Ruangan itu penuh bukitan
kotoran manusia. Kapal ADRI XV –kapal yang masih dioperasikan! Ai! Anak-cucu
bangsa bahari! Tanpa diperintah pun langsung rombongan Jakarta mulai membersihkan
ruangan keparat itu. Sapu dan tong air disiapkan. Kran-kran air mulai diputar.
Genangan kotoran ternyata menjelma jadi rawa lumpur. Saluran-saluran pembuangan
pampat semua. Setan pun mungkin takkan tahu lagi di mana sesungguhnya
lubang-lubang pembuangan itu. Kok bisa begini? Bertong-tong air tak juga mau
turun, tak seperti di daerah pasang surut. Dan bila haluan terangkat ombak, air
rawa buatan itu menerjang bendul-bendulnya dan membanjiri ruangan yang ditunjuk
untuk kami. Dan hero-hero kotoran manusia tercengan? Terperangah? Tidak! Waktu
baru masuk barak yang ditunjuk di penjara Karang Tengah, Nusa Kambangan,
onggokan kotoran manusia juga yang ditemui, di seluruh barak, dari balik bendul
pintu sampi ke ruangan kakusnya sendiri. Bedanya lantai barak penjara dari
tanah, lantai kapal ini dari besi karatan.
Kapal kami terus
terengah-engah, berderak-derak, tiga ribu lima ratus ton bobot mati. Meluncur
cepat, secepat bersepeda santai keliling kota. Kadang mogok, berhenti, jadi
permainan ombak di tengah laut-kapal kami, kapal Negara kepulauan terbesar di
atas muka bumi!
Sekiranya kapal ini
tenggelam-kami akan mati bersama, delapan ratus orang ini- dalam sekapan dengan
semua pintu terkunci dari luar. Ah-ya, apa salahnya mati? Setidak-tidaknya kami
masih bisa memberikan sesuatu pada dunia: cerita sensai dan bagaimana
pertanggungjawab akan kembali jadi bola voley. Berapa saja jumlah dan jenis
mahluk telah punah dari muka bumi? Dan tak ada yang meributkan? Berapa saja
semut telah mati terinjak-injak setiap detik? Berapa pula serangga lain tumpas
kena semprotan insektisida? Siapa meributkan? Juga hati ini tak perlu rebut.
Jangan menyesal mengapa punya impian, merasa belum cukup dengan yang sudah ada.
Sejak peristiwa 1965 itu aku telah kehilangan semua dan segala. Lebih tepat:
semua dan segala ilusi. Untukku sendiri sudah aku miliki semua, sebagaimana
sewaktu bayi sudah kumiliki semua dan segala untuk hidupku sebagai bayi. Dan
seperti bayi-bayi selebihnya modal untuk berkomunikasiku hanyalah suaraku:
jeritanku, raungan, keluhan, rengekan. Dan bila modal komunikasi itu dirampas,
ah-ya, siapa yang bisa rampas hak untuk berdialog dengan diri sendiri? Dan yang
dirampas itu akan berubah jadi energy lain yang akan menggaris abadi dalam
hidupkku. Sentimental? Apa boleh buat, hanya batang kayu yang tak punya
sentiment, kata penerjemah Rumania itu membantah seorang anggota Parlemen RI
yang pernah datang ke negerinya.
Ya, sayang sekali aku
tak dapat saksikan perayaan perkawinanmu. Hadiah-kawinmu pun hanya catatan
semacam ini, dan tak akan sampai ke tanganmu pula. Empat tahun belakangan ini
aku hanya mengikuti tudingan telunjuk orang untuk meninggali sel-sel beton atau
kayu. Biar begitu tidak benar kalau tidak pernah ingat padamu. Di mana kau
tinggal sekarang? Bagaimana kehidupanmu dengan suamimu? Aku tak tahu. Biar tahu
pun apalah gunanya bagimu? Tapi empat tahun bukan waktu pendek dalam hidup
manusia. Umur kadalpun tak sampai sepanjang itu. Di selku di penjara di
Tangerang, alalt yang berhasil kutangkap kukurung dalam plastic. Ia mati tua
dalam tiga setengah hari. Empat tahun tanpa tahu duduk perkara sungguh suatu
kemewahan berlebihan, seperti lapisan tebal bedak pada muka buruk seorang nenek
tua-renta.
Entah sudah berapa kali
kapal kami dilewati kapal-kapal lain. Mungkin dari kejauhan jadi tontonan yang
mengibakan, penderita kusta di tengah-tengah lalu lintas kehidupan yang sehat
dan cerah. Setiap saat dalam kesadaranku terdengar nafasnya yang terengah-engah
dan persendian-persendiannya yang berderak-derak. Dua kali nafasnya tak
terdengar dan gigilan mesinnya yang menggeletari kulit bajanya padam. Seribu
tahun yang lalu pun nenek moyang telah menjelajahi perairan ini—pasti cerita
para guru sekolah itu bukan omong kosong –dengan perahu-perahu buatan tangan
sendiri, dan pasti lebih bersih dari ADRI XV. Sekali lagi pasti para guru
sekolah itu bukan jual koyok. Perahu—perahu layar Bugis, Makasar dan Madura
sampai saat ini pun lebih tertib, sekalipun dan justru, tidak dibiayai dengan
uang Negara.
16 Agustus 1969
kutinggalkan kau berbulan madu di Jawa. Aku menuju ke happy land
somewhere. Sepuluh jam sebelum mancal
baru kami ketahui, happy land somewhere itu konon Pulau Buru di Maluku. Besok
17 Agustus keberangkatan kami: Hadiah ulang tahun Kemardekaan RI. Hadiah untuk
mereka yang tak jemu-jemunya meyakinkan diri mereka sendiri –juga kami—bahwa
kami adalah penghianat, pemutar –balik Pancasila. Dan selalu, tanpa pernah
membuktikan tuduhan mereka sudah menyemburkan tabir asap: harus tahu sendiri,
merasa sendiri, (karena itu) introspeksilah, mawaas diri, beriman, beragama,
bersembahyang, berdoa!
Ada yang berdoa memang,
ada yang mengharap, kapal ini tenggelam dihantam angin timur, dan kami mampus
dimakan hiu. Itu dari golongan yang menganggap: yang mati tidak akan bicara
lagi. Anggapan jaman batu berpermatakan pesona criminal. Memang kami sudah
setengah atau seperempat hidup tanpa hak sipil dan tanpa makan cukup—tapi kami
semua sudah membuktikan lolos berkali-kali dari lubang jarum kematian. Pada
punggung masing-masing tergendong kantong, takkan pernah lepas seumur hidup,
penuh-sesak dengan lambang-lambang pengalaman indrawi dan batini, kristalisasi
energy yang tak bakal ikut mampus, lebih abadi dari daging dan tulang bahkan
dari gading yang tak kenal retak pun. Lambang-lambang itu akan terus bicara
dengan bahasanya sendiri, Levenslang Verbannen
dalam dua jilid tebal karangan seorang anonimus itu, Rumah Mati-nya
Dostoyevski, Boven Digul-nya Dr. Schoonheyt, Pandawa di Kurusetra, Koestler
dalam bukunya, apa pula judulnya? Darik in the Afternoon? Mereka yang Dilumpuhkan, From land Hell to
Island Hell, siapa pula pengarangnya? Laporan dari Tiang Gantungan Julius
Fucik, Der Prophet-nya Anna Seghers, dan…
Biar sedikit mengsol,
mari aku ceritai kau sesuatu: Rakyat Spanyollah yang pertama-tama bangkit
melawan fasisme, jauh sebelum negara-negara yang menamai diri Negara demokrasi
turun ke medan perang, yang melahirkan Perang Dunia II. Dan waktu Perang Dunia
II usai, fasisme Jerman dan Italia dan Jepang digulung, fasisme Spanyol tetap
berdiri, bahkan hidup berdampingan secara damai dengan apra pemenang PD II,
malah ikut dalam persekutuan militer dalam rangka perang dingin. Memang suatu
dagelan persekutuan militer baru itu. Dalam konperensi Potsdam regime Franco
Spanyol oleh Sekutu dijatuhi hukuman dua puluh tahun. Begitu Perang Dunia II
selesai tak ada yang mengingat hukuman yang dijatuhkan, malah berangkulan.
Pragmatism Barat itu untuk kesekian kalinya mempertunjukkan jantung dan
wajahnya yang demonik. Dan itu akan tetap dipertontonkan tanpa malu demi kepentingannya.
Dan demi alam pikirannya yang pragmatis. Dua puluh tahun setelah
benggol-benggol fasis yang tertangkap hidup pada digantung dan ditembak mati,
paling tidak dua puluh tahun penjara!
Itu yang Nampak
dipermukaan. Yang tidak Nampak? Adegan-adegan penjara di Spanyol dimulai dengan
cerita Koestler. Bila mala hari tiba dan giring-giring berbunyi mengunjungi
sel, seorang pejuang anti-fasis dengan antaran seorang padre, sampailah dia
pada ajal di tangan jagalnya. Sampai berapa lama pejuang-pejuang anti fasis
yang lolos dari lubang jarum mauti itu mendekam dalam penjara menunggu jatuhnya
regim Franco? Dan dalam penantian itu seorang demi seorang terus dibunuhi, dari
tahun 1933 sampai 1965? Dan yang mengirim makan para tahanan itu—pada mulanya
isterinya, kemudian anaknya, kemudian lagi cucunya. Mereka berbaris di depan
gerbang penjara Burgos itu, tiga puluh dua tahun, dan regim Franco tak juga
runtuh. Penganiayaan dan penindasan terhadap para pejuang anti—fasis tetap
belum jadi sejarah.
Seorang pejuang anti
fasis Spanyol, yang berhasil lolos setelah mendekam selama dua puluh tiga tahun
dalam tahanan Franco pada suatu kali mengunjungi Buchenwald, 1965. Memang aku
juga pernah berkunjung ke situ, tapi cerita lain lagi, dan belum perlu
kusampaikan padamu. Orang itu menangis. Seorang wanita datang padanya dan
menyatakan keheranannya, bagaimana bisa seorang yang dua puluh tiga tahun hidup
dalam penjara masih mempunyai air mata. Dia jawab “Ich weinte angesichts ihrer
Toten, die die meinen und die die Toten von uns allen sind . Orang itu adalah
Macros Anna. Yang kuceritakan padamu adalah pidatonya di hadapaan pertemuan
sastrawan internasional di Berlin dan Weimar, Mei 1965. Yang mati itu tetap
bicara, dengan cara dan jalannya sendiri.
Ya Buchenwald,
Ravensbruck, Dachau, Auschwitz dan tempat-tempat permusnahan manusia itu tidak
membikin yang mati menjadi bungkam. Tempat-tempat itu masih dalam satu tata
surya, galaksi, dengan Indonesia. Dan kantong di punggung ini masih akan terus
diisi. Sampai kapan? Seperti di Spanyol? Sepenuhnya tergantung pada
ditarik-tidaknya topeng demon Barat, senjata dan modal Barat.
Memang aneh, pada 1948,
di penjara Bukitduri, aku pernah berangan-angan: daripada terkurung begini,
lebih baik dibuang ke Maluku. Agustus 1969 ternyata angan-angan itu jadi
kenyataan kalau kapal ini tak juga tenggelam. Dan yang tidak aneh: jatah makan
tepat diatur menurut pola Nusa Kambangan. Pada hari-hari pertama mendingan.
Beberapa hari kemudian susut dan lauknya pun pada menyingkir kea lam arwah.
Juga di kapal ini, dan untuk sisa pelayaran selanjutnya: makan dua kali dengan
air cabe. Tak ada yang memprotes. Sudah
sejak permulaan kami dicoba dibikin kecil dengan ketakutan. Tanpa protes pun
pembelaan sudah datang: makan terpaksa dikurangi karena jadwal pelayaran tidak
cocok dengan praktek. Orang hanya mengangguk lebih dari mengerti. Mengerti
tentang kerakusan mereka yang leluasa merakus.
Pelayaran itu lurus
menuju ke timur. Sampai di Nusa Tenggara Barat, kapal menikung dan mengambil
arah ke timur laut, langsung ke Buru. Boleh jadi benar ke Buru. Di laut Banda,
kapal dua kali mogok. Antara tiga atau empat abad yang lalu orang-orang Barat
sudah menjelajahi laut ini, dan aku baru sekali, dan sebagai tahanan tidak
menentu pula. Bila kau ikut berlayar denganku kau akan ikut mengagumi
kebiruannya di sianghari. Dan di malam hari jutaan kubik meter bintik fosfor
tertuang pada kepala-kepala ombak yang kena terjang lunas. Dan semua itu hanya
Nampak dari sela-sela ruji besi patrisporta. Dan kata perwira penerangan tiga
hari sebelum berangkat: itu juga tanah airmu, yang kalian wajib
mempertahankannya bila ada serangan dari luar. Wah!
Wah! Dalam kapal yang
mengherankan karena tak juga tenggelam ini , masih sempat juga aku bersukur
karena terbebas dari Nusa Kambangan, dari penjara Karang Tengah dan penjara
Limusbuntu: selama dua minggu sulit mandi sebagaimana biasanya manusia
khatulistiwa. Di kapal ini perut agak berisi dan air mandi melimpah seperti di
rumah nenek sendiri. Kebahagiaan sekecil-kecilnya perlu juga dipelajari
bagaimana menikmatinya. Biarpun ke mana mata memandang memang hanya maut yang
Nampak: laut, kapal kakus, yang tak henti-hentinya berderak dan terengah,
peluru, bayonet, perintah, appel, tanda pangkat, pestol, bedil, pisau komando.
Dan radio kapal itu tak
henti-hentinya bergaya, sekalipun tiada orang mendengarkan lagu-lagu keroncong
yang cukup memualkan, doa selamat menuju hidup baru dari seorang gerejawan. Ya,
selamat untuk hidup baru, katanya.
Orang bilang, bagaimana
pun dan ke mana pun kau bergerak, kuburan juga tujuannya. Siapa pernah lahir,
bersama dengan kelahirannya dia dijatuhi hukuman mati. Dari Corsika, atau
katakanlah dari Ecole de Guerre melalui kegemilangan kemenangan perang di
berbagai negeri, melahirkan lembaga-lembaga baru dan kodenya, kata orang: semua
itu adalah langkah beberapa ratus meter Napoleon dari Ecole de Guerre ke Les
Invalides, kuburannya.
Apa boleh buat, dalam
kerangkeng, di atas kapal semacam ini, memang setiap kami merenungkan mati. Dan
kroncong yang cengeng meliuk-liuk makin mendorong diri pada renungan itu.
Kroncong sebelum kemerdekaan masih punya gairah, masih mengandung
vitalitas—vitalitas bnangsa yang belum merdeka. Kroncong sehabis dan selama
Rwevolusi justru tinggal jadi semacam nascisme, rangkaian kata kosong,
masturbasisme. Sejajar dengan pidatoisme dan wayangisme. Berbahagialah kalian,
para orator Yunani dan ROmawi! Berbahagialah kalian para penari topeng, karena
secara thematic memang menolak ekspresi diri. Dan kroncong dengan lirik
bombasme dalam alunan yang meliuk melolong-lolong, justru merupakan pernyataan
ketiadamampuan berekspresi: sama dengan tidak ada apa-apa. Kosong.
Juga seperti enam belas
tahun yang lalu di atas Oldenbarneveldt orang memerlukan datang untuk
berkenalan, karena di dunia bebas dulu mereka mengenal nama itu, nama ayahmu.
Memang keterkenalan tak lain dari produk sosial, bukan semata-mata tetesan
keringat sendiri. Dan cukup menyebalkan keterkenalan dianggap senyawa dengan
ke-tahu-segala-an, sebagai penguasa kebenaran. Mereka tak mau tahu, diri ini
sama dengan mereka, sama-sama tapol, sama-sama tak tahu perkaranya sendiri,
apalagi perkara orang lain. Siapa tahu sampai kapan kami dibuang? Sampai mati:
atau sampai setengah pingsan saja? Kan itu semata-mata tergantung pada sudi
atau tidak sudinya Barat menyimpan jantung dan wajahnya yang demonic? Menyimpan
di mana? Tentu saja dalam kopeknya. Yang orang paling tahu, kebebasan itu
kepentingan para yang terampas dan tertindas. Banyak orang lupa, ia pun juga
kepentingan yang merampas dan mnindas. Hanya isi kepentingannya saja berbeda.
Kepentingan tapol hanyalah kebebasannya, tidak lebih. Kebebasan murni.
Kepentingan yang di seberang sana, wah, bermacam lagi. Tanyalah pada raja-raja
modal yang sudah mengalami dan menyimpulkan segala dan semua, dan yang lebih
penting: sudah mengatur semua.
Mungkin juga kemashuran
bukan produk tapi limbah sosial belaka. Pelacur-pelacur termashur di dunia
modern—lelaki dan perempuan—yang berhasil mendapatkan penglaris dengan
sudsesnya di bidang seni, seni apa saja—hidup dalam glamour dan kelimpahan,
memang tidak terkena perampasan hak sipil, penghinaan dan penindasan resmi.
Para kepala Negara, diplomat, bahkan menyambut mereka dengan bangga. Kemashuran
mereka telah mengalahkan ukuran moral dan politik. Tapi apalah guna mengoleskan
param pada bagian memar, kalau setiap hari untuk waktu tak dapat
diperhitungkan, memar itu akan datang di tempat yang sama dan ditempat
selebihnya? Dan yang memar-memar menahun ini diharapkan membagi-bagikan
param—param yang tak berguna bagi dirinya sendiri itu. Apa boleh buat. Bagi
bangsa yang sedang meremajakan nafsunya, semua saja dianggap jadi urusannya,
maka patut bisa menjawab masalah-masalahnya. Namun pengarang tetap bukan
Sinterklas pembagi balsam dan param, dia cukup bersyukur bila bisa memberikan
sejumput kesadaran.
Pada waktu aku masih
seumur kau sekarang, aku punya seorang guru yang mashur pada masanya: Mara
Sutan. Semua murid mengaguminya. Beliau sudah kakek waktu itu. Tubuhnya kecil,
dan semakin kecil karena usia. Mukanya sudah kampong. Tapi mata di balik
kacamata emasnya tetap berbinar. Dialah guru yang dengan perbuatan mengajar
kami, segala dan semua adalah hasil kerja manusia dalam hidupnya. Hanya
ketampanan, kecantikan, keayuan, hadiah gratis—lebih cepat punah dilanda usia,
sama halnya dengan pretense-pretensi tentang mudan dan baru, yang akhirnya juga
jadi keriput dan jompo, seperti orde—orde yang pernah ada dalam kehidupan
manusia di atas buminya. Gerakan Hidup Baru semasa pendudukan Jepang, dan
Gerakan Hidup Baru semasa Sukarno bahkan tidak pernah mengalami masa merangkak.
Tidak melewati masa remaja, apalagi dewasa. Mendadak dilahirkan, mendadak
cow entah ke mana. Qo’it! Kata anak
Betawi.
Dan pengeras suara itu
terus-menerus memutar keroncong yang lembek kemanisan dan pengumuman yang sama,
dan fatwa orang gereja itu, dan wejangan pejabat entah siapa yang untuk
kesekian kalinya mengucapkan selamat pada kami yang sedang “menuju ke Hidup
Baru.”
Kalau mengikuti jalan
pikiran perwira penerangan itu, apakah kapal ini mogok di tempat, sampai ke
tujuan, atau pun sampai ke dasar laut Banda, walhasil sama saja. Masih tetap di
tanah air sendiri: tanah ada dan air pun melimpah. Kedamalan laut Banda memberi
jaminan bahwa air itu ada. Tidak percuma kau memilih jadi warganegara
Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.
Sekali lagi maafkan
ayahmu karena hadiah kawin yang hanya semacam ini. Perkawinanku dengan mamamu
hanyalah sebuah cerita Hadiah Kawin. Hadiah-kawin untukmu hanya permenungan dan
pengapungan ini. Itupun belum tentu akan sampai kepadamu. Tak ada harganya
memang dipandang dari nilai uang yang membikin banyak orang matanya jadi hijau.
Nilainya terletak pada kesaksian dan pembuktian sekaligus betapa jelata jadi
warganegara Indonesia angkatan pertama. Boleh jadi untuk jadi warganegara
Amerika atau Brazilia tidak akan sesulit ini. Sedang kewarganegaraanmu kau
peroleh cuma-cuma. Mungkin juga kau tidak perduli apa kewarganegaraanmu. Nyaris
empat tahun ditahan, memasuki tahun kelima justru berangkat ke pembuangan,
tanpa tahu duduk perkara. Dan dibuang sebagai hadiah ulang tahun untuk
segolongan orang yang justru menghendaki kami qo’it! Mungkinkah sudah terjadi
kekeliruan? Tidak, karena lebih seribu tahun lamanya wayang mengajarkan: bahkan
para dewa pun bisa salah, bisa keliru, tidak kalis dari ketololan, dan korup!
Apalagi Brahmin, satria, waisyia dan sudra. Dan paria tak lain dari ujung
terakhir deret hitung.
Betapa lambat melintasi
Laut Banda, gudang cakalang alias tongkol ini. Ikan dengan gumpalan daging
perkasa itu—biar aku ceritai kau. Dalam hidupnya, jenis yang satu ini harus
terus-menerus berenang dengan kecepatan paling tidak 20 mil/jam. Kalau tidak
sistem saluran darahnya yang berada di bawah kulit akan beku. Dia pilih mati
daripada berhenti. Dia pilih mati pada waktu tertangkap jarring. Dan di bawah
sana, di gunung-gunung karang sana, di laut dalam, ikan bandeng kesukaanmu itu
bertelur. Nenernya bertebaran di pantai. Orang membawanya ke pasar bila sudah
besar, dan seorang mengantarkan padamu di meja-makan. Di bawah kapalku ada
jutaan tongkol dan bandeng, tetapi tidak di atas piringku.
Nah sepuluh hari kami
berlayar. Pulau Buru bagian selatan sudah Nampak. Memantai bagian timur pulau
suatu sensai tersendiri. Bukit dan gunung berjabat-jabatan, pagar alam ganas
yang bakal jadi pengurung kami, dan tanah bocel-bocel bertopi ilalang. Seorang
diantara kami, member jaminan: ikan Maluku cukup bodoh dan tidak berpengalaman,
kau umpani dengan batu pun akan kena. Dia sungguh seorang penghibur baik bagi
mahluk kekurangan protein hewani. Dan liaht, protein hewani begitu bebas
berkeliaran dalam tubuh rusa yang berkeliaran di padang ilalang tanpa batas itu
sampai-sampai di puncak-puncak bukit. Pintu-pintu besi itu telah dibuka. Yang
segan bangun untuk selama-lamanya karena h.o. pun bangkit dalam kebimbangan
teman-temannya. Kemudian kapal menikung memasuki teluk Kayeli, luas, indah,
menjorok dalam masuk ke daratan, seperti sebuah pangkalan angkatan laut yang
telah ditinggalkan selama sepuluh abad. Orang bilang Kayeli pada mulanya
berasal dari kata Belanda Kayoue Poeti Olie. Mungkin dongengan jahil. Tapi
memang Kayeli produsen minyak kayu putih terbesar dan tertua sepanjang dikenal
tulisan. Uh! Rombongan demi rombongan orang Portugis dan Belanda telah
mengangkuti kuli, pala dan cengkeh dari pulau ini. Beberapa abad yang lalu.
Sekarang rombongan “tentara berbaju drill kuning”, kami, tapol, datang, tidak
untuk memetik buah jerih payah penduduk Buru. Waktu angin darat meniup terasa
betapa lembabnya udara, menyesakkan nafas. Hati-hati dengan paru-paru, bikin
jadi waspada perutmu.
Nampak Namlea, sebuah
pelabuhan alami di teluk dihiasi rumah-rumah kecil seperti kardus. Suling kapal
menjerit-jerit besar. Dua buah LC (landing craft) datang menjemput. Sebuah
mesjid bermenara menjenguk pantai dalam kelengangannya. Tak Nampak seorangpun
di Namlea. Seperti dusun—kalau menggunakan ekspresi melayu lama—sedang
dikalahkan garuda.
Dari LC beberapa orang
perwira naik ke kapal. Beberapa belas orang yang nampak kokoh diperintahkan turun lebih dahulu untuk
menyiapkan dapur. Perwira tertinggi pun datang pula menjemput. Dengan satu LC
tapol pilihan mempelopori mendarat di pulau “Hidup Baru”, dengan segerobak
perlengkapan dapur.
Mereka mendarat di
Namlea yang sedang dikalahkan garuda. Satu regu prajurit divisi Pattimura menyambut
mereka dengan gagang senapan dan tinju.
Nah, pengantin baru,
anakku, kau boleh ucapkan padaku: selamat untukmu, papa, tapol RI yang memasuki
masa pembuangan, sebagai balasan atas hadiah-kawin semacam ini. Selamat untukmu, anakku, selamat untuk suamimu, yang
aku tak ingat namanya.
Sekarang giliran ayahmu
menuruni kapal, naik ke LC untuk mendarat, setidak-tidaknya bukan di
somehwhere.
(disalin secara utuh
dari Permenungan dan Pengapungan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, karya
Pramudya Ananta Tour hal. 1-18)
KAPITALISME BANGSA
SENDIRI?
SUKARNO
Didalam salah satu rapat umum
saja pernah berkata, bahwa kita bukan sahadja harus menentang kapitalisme
asing, tetapi harus djuga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah
mendapat pembitjaraan didalam pers, dan sajapun mendapat beberapa surat jang
minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.
Dengan segala senang
hati saja memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal jang
mengenai beginsel. Beginsel, jang harus dan musti kita perhatikan djikalau kita
mengabdi kepada rakjat dengan sebenar-benarnja, dan ingin membawa rakjat itu
kearah keselamatan.
Supaja buat pembatja
soal ini mendjadi terang, dan supaja pembitjaraan kita bisa tadjam
garis-garisnja, maka perlulah lebih dulu kita mendjawab pertanjaan:
Apakah kapitalisme itu?
Didalam saja punja
buku-pembelaan saja pernah mendjawab: “Kapitalisme adalah stelsel
pergaulan-hidup, jang timbul daripada tjara produksi jang memisahkan kaum-buruh
dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini tjara-produksi,
jang oleh karenanja, mendjadi sebabnja meerwaarde tidak djatuh didalam
tangannja kaum-buruh melainkan djatuh didalam tangannja kaum madjikan.
Kapitalisme, oleh karenanjua pula, adalah menjebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaal-concentratie,
kapitaalcentralisatie, dan industrieel reserve-armee. Kapitalisme mempunjai
arah kepada verelendung”, jakni menjebarkan kesengsaraan.
Itulah
kapitalisme!—jang prakteknja kita bisa lihat diseluruh dunia. Itulah
kapitalisme, jang ternjata menjebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran,
balapan-tarif, peperangan, kematian,---pendek kata menjebabkan rusaknja
susunan-dunia jang sekarang ini. Itulah kapitalisme jang melahirkan
modern-imperialisme, jang membikin kita dan hampir seluruh bangsa-berwarna
menjadi rakjat jang tjilaka!
Siapa didalam beginsel
tidak anti kepada stelsel jang demikian itu, adalah menutupkan mata buat
kedjahatan-kedjahatan kapitalisme jang sudah senjata-njatanja itu. Tiap-tiap
orang, jang mempunyai beginsel jang logis, haruslah anti kepada stelsel itu.
Sebab,--sekali lagi saja katakana---, stelsel itu ternjata dan terbukti stelsel
jang menjilakakan dunia.
“Ja”, orang menjahut,
“tetapi kapitalisme bangsa sendiri? Kapitalisme bangsa sendiri jang bisa kita
pakai untuk memerangi imperialism? Djalankan perdjoangan kelas alias
klassenstrijd?”
Dengan tertentu disini
saja menjawab: Ja, kita harus djuga anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu!
Kita harus djuga anti isme jang ikut menjengsarakan Marhaen itu. Siapa
mengetahui keadaan kaum buruh diindusti batik, rokok-kretek, dan lain-lain dari
bangsa sendiri, dimana saja sering melihat upah-buruh jang kadang-kadang hanja
10 รก 12 sen sehari, ---siapa mengetahui keadaan perburuhan jang sangat buruk
diindustri-industri bangsa sendiri itu---, ia mustilah juga menggojangkan
kepala dan dapat rasa-kesedihan melihat buahnja tjara-roduksi jang tak adil
itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah
ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar, ---dan orang akan menjaksikan sendiri
“rahmat-rahmatnja”tjara produksi itu.
Seorang nasionalis,
djustru karena ia orang nasionalis, haruslah berani membukakan mata dimuka
keadaan jang njata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus
memperhatikan perkataan-perkataan Gandhi jang saja sadjikan tempo hari:
nasionalismeku adalah kemanusiaan. Ia harus SOSIO-nasionalis,---jakni seorang
nasionalis jang mau memperbaiki masjarakat dan jang DUS anti segala stelsel
jang mendatangkan kesengsaraan kedalam masjarakat itu. Ia harus sebagai
Jawahraial Nehru jang berkata:
“Saja seorang
nasionalis. Tapi saja juga seorang sosialis dan republikein. Saja tidak
pertjaja pada radja-radja dan ratu-ratu, tidak pula kepada susunan masjarakat
jang melahirkan radja-radja-industri jang pada hakekatnja berkuasa lebih besar
lagi daripada radja-radja dizaman sediakala. Saja nistjaja mengerti, bahwa
Congress belum bisa mengadakan program sosialistis jang selengkap-lengkapnja.
Tetapi susunan masjarakat diseluruh dunia. India nistjaja akan mendjalankan tjara-tjara
sendiri, dan menjotjokkan tjita-tjita sosialis itu kepada keadaan penduduk
India seumumnja.”
Tetapi, apakah ini
berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia jang mampu? Sama
sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”,--kita memerangi
stelsel. Dan tidak tiap-tiap orang jang mampu adalah mendjalankan kapitalisme.
Tidak tiap-tiap orang jang mampu adalah karena meng-ekslpoitasi orang lain.
Tidak tiap-tiap orang mampu adalah mendjalankan tjara-produksi sebagai jang saja
terangkan dengan singkat (dengan menjitat dari pembelaan) diatas tahadi. Dan
tidak tiap-tiap orang mampu adalah ikut atau hidup didalam idiologi
kapitalisme, jakni didalam akal, fikiran, budi, pekerti kapitalisme. Pendek,
tidak tiap-tiap orang mampu adalah djendral atau sersan atau serdadu
kapitalisme!
Dan apakah prinsip kita
itu berarti, bahwa kita ini harus mementingkan perdjoangan kelas? Djuga sama
sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perdjoangan nasional, perdjoangan,
kebangsaan.
Hal ini saja terangkan
dalam karangan saja jang akan datang.
(Disalin utuh dari buku
“di Bawah Bendera Revolusi”, Sukarno 1963:181-183)
0 komentar:
Posting Komentar