Senin, 02 Januari 2017

MENGARANG ADALAH BERJUANG



MENGARANG ADALAH BERJUANG

Menulis buat saya adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Bertahun-tahun saya belajar dari tulisan-tulisan orang lain yang saya kagumi. Saya kagum pada cerita-cerita Pramudya. Ia terasa kokoh. Bahasanya mengalir lancar, kaya dengan ungkapan-ungkapan baru. Kemudian Toha Mohtar menuntun saya pada kesederhanaan dan kejujuran. Trisnoyuwono mengajarkan saya keberanian untuk menelanjangi diri sendiri. Sementara Rijono Pratikto membuat saya sadar betapa penting itu imajinasi dan plot. Lalu Goenawan Mohammad mengajak saya untuk memperluas wawasan dan menajamkan gagasan. Pekerjaan sebagai wartawan memberikan saya pemahaman pada deadline.
Dari penulis-penulis mancanegara seperti Saroyan, Hemingway, John Steinbeck, Anton Chekov, O. Henry, Guvy de Maupassant, Edgar Allan Poe, Christian Anderson, Boris Pasternak, Samuel Beckett, bahkan juga Agatha Christie dan Sir Canon Doyle, saya mempelajari teknik menyusun plot, takaran dan bobot, pertukaran dan dimensi menulis. Bahwa menulis itu bukan sekedar bercerita, tetapi juga mengemukakan pendapat dengan strategi yang diperhitungkan namun tanpa kehilangan rasa dan spontanitas. Menulis menjadi upaya mengembangkan pikiran-pikiran. Kemudian terus pada menulis sebagai pemaparan pengalaman spiritual yang bertujuan untuk memberikan pengalaman spiritual kepada pembaca.
Pada awal menulis, menerjemahkan ide ke dalam tulisan merupakan saat yang paling melelahkan. Untunglah saya pernah baca buku Teknik Mengarangnya Mochtar Lubis waktu saya di SMA, sehingga aya tahu bagaimana mengatasi rasa jemu, lelah dan bagaimana memikat pembaca. Buku tersebut menyadarkan saya bahwa seperempat bagian dalam menulis adalah masalah psikologis penulis, seperempatnya lagi masalah teknik penulisan, seperempat berikutnya wawasan dan seperempat terakhir adalah gagasan.
Yang tak kalah pentingnya adalah pertemuan saya dengan penyair dan dramawan Kirjomulyo ketika ia menyutradarai saya untuk memainkan drama Anton Chekov, Badak, di SMA. Ia menyadarkan saya bahwa mengarang adalah berjuang. Mengarang adalah menuntut kerja keras, berbagai upaya, kesetian dan kegigihan. Karena setelah sebuah karangan selesai, masih banyak yang harus dilakukan agar karangan itu hadir sebagaimana layaknya. Saya baru menyadari bahwa mengarang itu adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran karena penuh dengan ujian.
Setelah bertahun-tahun menulis, saya menemukan berbagai kilat, yang mungkin sama mungkin berbeda dengan kiat-kiat para penulis lainberikut ini kiat-kiat yang saya temukan dalam bekerja. Kiat ini sama sekali tidak berarti dalil. Sekedar pegangan sementara untuk memudahkan kerja, sampai terbukti ada kebenaran-kebenaran lain. Saya percaya kebenaran itu datang perlahan-lahan, tak henti-hentinya mengalir kepada kita kalau terus bekerja.

Menciptakan dialog dalam tulisan
Sebuah tulisan yang baik selalu tersusun dalam struktur. Ada awal, isi dan keimpulan ada introduksi, analisa dan akhirnya opini. Tapi sejak lama sudah ada berbagai terobosan yang mengacak urutan, sehingga kesimpulan bisa ditempatkan di awal, kemudian mundur perlahanmemberikan introduksi dan kemudian analisa. Ini membuat tulisan jadi dinamis. Namun kadang bisa malah makin ruwet.
Struktur tulisan di atas sudah beragam dan tidak bisa dibandingkan untuk mencari mana yang terbaik. Materi tulisan, format, karakter penulis, bahkan setting ke mana dan kepada siapa seta dalam situasi bagaimana tulisan itu dilahirkan, memberi andil terhadao struktur yang dipilih. Karena struktur pada akhirnya adalah bagian dari strategi, untuk membuat tulisan lebih bunyi kepada pembaca.
Strategi sendiri adalah bagian dari teknik penulisan. Teknik penulisan, menentukan wujud dan karakter isi pikiran yang hendak disampaikan. Ia bukan hanya struktur, ia juga mengandung pertimbangan psokologis yang memberikan emosi kepada tulisan, sehingga tulisan menjadi hidup.
Sebuah tulisan yang hidup adalah tulisan yang tidak hanya merupakan monolog penulis, tetapi juga menyiapkan ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya diaolog dengan pembaca. Tidak benar bahwa sebuah tulisan adalah komunikasi satu arah. Karena dengan teknik yang telah tentunya didasari oleh niat penulisnya, dapat dirakit sebuah tulisan yang pada dasarnya monolog itu menjadi sebuah kesempatan diaolog. Untuk itu ada beberapa upaya.
Dialog dimungkinkan dengan mengikutsertakan pikiran-pikiran orang lain, baik yang sepaham maupun yang bertentangan dengan penulis. Tentu saja dengan berbagai pertimbangan. Antara lain bahwa dia kemungkinan besar dapat mewakili atau menampung protes suara pembaca yang tentunya beragam. Sehingga tulisan menjadi semarak dengan berbagai pemikiran, tak ubahnya seperti sebuah seminar atau pasar ide yang demokratis.
Seringkali pikiran-pikiran lain itu justru dituntut dan diharap-harap serta diburu-bur kehadirannya, untuk menjadi lawan cakap/sparring partner bagi pemikiran kita. Karena ia akan merupakan ujian pertama dan terkahir bagi pikiran kita. Karena kalau sampai pemikiran kita gugur, bahkan kalaupun nampak lemah dari awal, dengan sendirinya memang tak layak dikemukakan.
Lawan-lawan rembug tersebut akan menjadi lebih bagus kalau ia begitu menantang, liat, lihai dan kuat. Bahkan kalau saja ia nyaris mampu menghancurkan suara yang hendak kita usung, itu akan membuat tulisan kita makin solid dan monumental. Bahkan andaikan pun kita kalah dan kita berhasil menyerah dengan jujur, pikiran-pikiran kita tetap akan merupakan tontonan tersendiri. Karena kejujuran, lepas dari menang atau kalah, adalah pesona tersendiri yang luar biasa.
Tapi tidak gampang memang untuk tampil jujur, karena sedikit saja ada pretendi, dan pembaca berhasil mengendusnya, itu sudah cukup untuk membatalkan kejujuran tersebut. Kejujuran berarti menelanjangi diri sendiri habis-habisan. Kalo masih ada yang ditutup-tutupi kejujuran itu akan kehilang tenaganya. Karena itu soal pertama yang harus diselesaikan untuk bisa tampil jujur adalah mengalahkan diri sendiri. Hanya dengan kepasrahan yang tulus, seluruh kalimat menjadi suci dan apapun yang dikatakan akan bersinar. Segala kelemahan dan ketidaksempurnaan bahkan kekalahan pun menjadi punya kelebihan tersendiri.
Sesorang penulis yang sudah terlatih, yang memiliki wawasan yang luas dan jujur tidak akan  terganggu oleh pikiran orang lain yang ditaburnya dalam tulisannya. Ia bahkan dapat membuatnya menjadi orkes simphoni yang indah.
Seorang penulis yang berpengalaman dan punya wawasan sudah akan dapat menangkap suara pembaca dalam setiap baris yang ia tulis, bantahan, protes ataupun seruan setuju para pembacanya. Dengan pengtahuan yang mendahului terhadap reaksi pembaca, ia melakukan dua hal sekaligus, yakni: sambil menuliskan pikiran-pikirannya ia juga tak lupa menjawab pertanyaan pembaca. Akibatnya ia akan menakar uraiannya, khususnya pada bagian kesimpulan dan opini, sehingga oada akhirnya dengan berbagai cara, ia punya kesempatan besar untuk diterima oleh pembaca yang berbeda pendapat, karena pendapat yang sudah masuk dalam hitungannya.
Menulis dengan demikian tidak sama dengan orang ngoceh. Menulis adalah membangun opini orang dengan cara memamerkan opini kita. Tapi opini tak bisa diserahkan begitu saja tanpa memberi latar belakang. Sebuah tulisan yang baik selalu juga berarti serangkaian informasi. Dengan menjelaskan setting masalah secara jelas, seorang penulis menyediakan ruang pada pembaca untuk bertanya dan mendebat. Kendati pada akhirnya, tulisan ditutup dengan melangkah sambil menjawab, kesimpulannya akan cenderung sulit dibantah. Inilah yang membuat tulisan yang bagaimanapun tajamnya tidak akan terasa menyerang. Pembaca bahkan akan menghormatinya sebagai alternatif berpikir.

Posisi, Gaya, Akhir yang Mengambang
Apakah penulis dalam menuliskan gagasannya akan memposisikan diri sebagai guru kepada murid, atau seorang murid kepada guru, atau juga seorang teman kepada teman yang lain, ketiga posisi ini sebenarnya bernilai sama, apabila ditempatkan sebagai gaya.
Sebuah gaya dalam menulis adalah aksi tambahan yang membuat tulisan memiliki pesona. Salah kalau gaya  dilihat hanya sebagai pemoles. Sebab untuk menentukan gaya, itu sangat tergantung dari materi yang disampaikan, watak penulis, serta juga kondisi umum para pembaca. Gaya adalah refleksi gabungan dari hasil studi terhadap materi yang disampaikan, keterbatasan diri penulis dan kondisi konkret pembaca. Gaya tidak main seruduk begitu saja. Tidak sekedar jiplakan dari ulah orang lain yang dikagumi. Gaya adalah bagian dari upaya dan strategi dan sama sekali bukan tujuan, meskipun memang sangat mempengaruhi efisiensi dalam mencapai tujuan.
Dengan gaya, tulisan menyusun siasat untuk merebut hati dan pikiran pembaca agar tetap berkosentrasi pada tulisan, baik pada bagian-bagian yang penting, dan khususnya pada bagian-bagian yang kurang menarik. Gaya akan membuat tulisan semacam tontonan. Gaya adalah irama, adalah musik, adalah dinamika, yang dapat membuat orang lupa waktu. Gaya menyulap yang sulit menjadi ringan. Serta yang buram menjadi bening. Gaya yang tepat dan otentik akan membuka hati pembaca dan penulis sendiri di dalam memproses tulisan. Gaya memberi tenaga. Tetapi sebaliknya, gaya yang hanya sekedar aksi, akan terasa kosong. Ia menjadi kanker di tubuh tulisan. Musuh dalam selimut yang menghancurkan makna tulisan dari dalam.
Bila tiga posisi tersebut di atas berhasil tampil ke hadirat pembaca bukan hanya sebagai sekedar ganya, maka kesan menggurui, kesan membodohi dan kesan tak sopan, akan menjai hiburan yang tidak mengurangi penghargaan kepada materu yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, ulang menggurui, aksi membodohkan pembaca dan tindakan anarkis dalam sebuah tulisan tidak selamanya negatif. Dengan menjadikannya gaya atau mendisiplinnya sebagai gaya, maka ketiga tindakan tersebut dengan sendirinya akan mengandung tanda-kutip dan kemudian langsung berubah artinya menjadi kekuatan positif. Ia bahkan terasa akrab dan terus-terang. Namun sedikit saja salah, sedikit saja tidak awas, sebentar tidak ketat, sedikit saja gaya itu melenceng menjadi tujuan, serta-merta ia akan menghancurkan seluruh kegunaannya dan kembali kepada artinya yang asli sebagai pencekokan, penindasan dan tindakan sewenang-wenang kepada pembaca.
Cara untuk membuat ketiga posisi tersebut hanya sekedar gaya, antara lain, sekali lagi antara lain, adalah dengan menata akhir tulisan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang mengambang. Pembaca diangkat lagi terbang ke dalam ruang hampa dimana tidak ada hukum gravitasi. Seluruh gerakan adalah murni tergantung dari pembaca sendiri. Setelah diberikan begitu banyak informasi, ia diberi kesempatan untuk memilih terbaik baginya. Pembaca dibebaskan dari prasangka bahwa ia sudah diprogram, karena dia sendirilah yang berhak dan wajib memprogram dirinya.
Dengan membuat pertanyaan yang mengambang, pembaca akan merasa dirinya dilibatkan dan diperhitungkan. Kesimpulan yang hendak diucapkan oleh penulis akan diucapkan sendiri oleh pembaca. Minimal pembaca akan menemukannya sendiri tanpa dikonkretkan, walaupun belum tentu yang bersangkutan setuju.
Namun dengan membuat pembaca berada dalam posisi psikologis: :sudah berhasil menemukan sesuatu yang tersembunyi” – walaupun penemuan itu belum tentu disetujui – pembaca akan merasa puas, terhormat, pinta dan berharga. Sebagai akibatnya mereka akan merasa sama sekali tidak rugi sudah menghabiskan waktunya untuk membaca. Apalagi kalau kesimpulan itu memang disetujuinya. Tidak disetujuinya pun ia akan merasa dipuaskan.
Sebuah tulisan yang kuat akan memiliki daya pukau. Dan di situ kebenaran dan logika menyarah sesaat. Di situ penulis memiliki kesempatan yang bebas seklai untuk menembak apa saja, siapa saja, bagaimana saja serta kapan saja. Tetapi dalam waktu yang relatif terbatas. Karena itu, penulis harus benar-benar memformulasikan secara tepat apa yang hendak dikatakannya dan jangan sampai menjadi rancu dan sesat, apalagi tekecoh untuk menikmati saat yang penuh kemenangan itu. Saat membuat seorang penulis menjadi seakan-akan seorang pencipta dengan p kecil.
Tetapi bahaya dari kesimpulan yang mengambang, sukup besar. Pembaca yang sama sekali tidak bisa menikmati gaya tulisan, yang membaca cepat dan memungut poin-poin pentingnya saja, mungkin akan kecewa. Ia akan merasa terkecoh sudah buang-buang waktu. Pembaca yang juga tidak terbiasa menikmati bahasa apalagi gaya, akan merasa tulisan tersebut membingungkan, karena berakhir dengan pertanyaan. Di situ penulis itu memerlukan sebuah jembatan apresiasi. Sebuah penafsiran. Sebuah kritik, dan kritik bukan suatu yang subur di Indonesia. Lembaganya belum tegak secara baik, kritikus pun belum banyak.

Sudut Pendang
Setiap tulisan juga punya sudut pandang yang besar sekali pengaruhnya pada bobot tulisan. Persoalan yang sama, dengan data yang tak berbeda, dapat dibikin baru, karena menukar sudut pandang. Penukaran ini bukan saja akan mengunadang kesegaran, tetapi juga keanehan, keunikan kejelian dan pesona.
Sebuah materi yang bagus bila tak disertai sudut pandang yang tepat, bisa mubazir. Sebaliknya, dengan sudut pandang yang cerdik, sesuatu yang biasa, remeh, bahkan klise, bisa seolah terasa baru dan menarik. Sudut pandang adalah bagian kosmetika penulisan. Tidak hanya kosmetika, ia juga dapat secara fantastik mengubah materi yang dibicarakan.
Masalah-masalah besar, sudah cukup atrakrif bila dibedah dari sudut pandang standar. Bila ditembak dari sudut pandang lain, ada kemungkinan malah sesat dan kusut. Berbeda dengan masalah-masalah kecil dan sederhana yang memerlukan satu sudut pandang yang diperhitungkan orang, agar membuat materi keluar lebih menohok.
Sudut pandang tiap maslah, tidak terbatas. Tapi kesalahan memilih sudut padang akibatnya bisa fatal. Apabila ada kesulitan, ada baiknya kita mengambil sudut pandang standar. Hanya dengan penguasaan yang bulat atas masalah, dapat dikembangkan sudut pandang yang kontraversial, sehingga tulisan memberikan sesuatu yang baru.
Masalah kebaruan dala tulisan kadang tumpang tindih dengan kesegaran. Keduanya sangat dekat tapi bisa dibedakan. Sesuatu yang baru memang cenderung segar, namun sesuatu yang segar tidak harus baru. Tidak baru tetapi ditembak dari sudut pandang lain dapat menimbulkan kesegaran. Ini adalah dari kreativitas.

Kreativitas
Lalu apa sebenarnya kreativitas? Kreativitas dalam menulis adalah upaya untuk mengutak-atik sesuatu yang sederhana menjadi baru, menarik, bahkan kontroversial. Menyederhanakan materi yang berat menjadi tulisan yang sederhana dan komunikatif, tanpa kehilangan esensinya adalah bagian dari kreativitas. Sebaliknya, membuat ruwet materi yang sederhana sehingga tak terpahami adalah kegagalan dam penulisan.
Bentuk kreativitas dalam menulis ada macam-macam. Tidak terbatas hanya pada menyederhanakan yang sulit-sulit. Mengembangkan hal-hal sepele menjadi penting, membuat sesuatu yang kering menjadi memikat, membuat yang tak pernah dilakukan sebelumnya namun tanpa terasa sebagai coba-coba dan sebagainya adalah kreativitas. Kreativitas adalah berbagai upaya yang dipakai seorang penulis untuk membuat paket tulisannya menggigit. Jadi, kebaruan yang muncul seperti sudah disebut di atas hanyalah salah satu aspek. Sasaran lebih lanjut dari kebaruan itu adalah agar tendangannya pada pembaca lebih telak.
Sebuah tulisan yang baik menembak pembacany di tempat. Tapi sebuah tulisan yang baru berhasil menembak pembacanya setelah beberapa hari, beberapa bukan, bahkan beberapa tahun, juga bukan tulisan yang buruk. Karena berat ringan masalah berbeda. Juga empuk tidaknya sasaran, peka tidaknya pembaca sangat menentukan apakah tulisan itu akan bunyi apa tidak. Untuk itu, seorang penulis harus punya kesabaran, yang dalam hal ini berarti kebijaksanaan-kematangan.

Tulisan yang Menggigit
Bagaimana sebuah tulisan bisa menggigit adalah persoalan penulisan, bukan soal materi. Karena sebuah materi yang besar pun bisa hambar, apabila tidak dirumuskan dengan baik. Sebaliknya, masalah yang sederhana, bila dirakit sedemikian rupa, akan menjadi tajam dan memiliki tenaga tembus, sehingga pembaca jadi terusik atau tergugah.
Membuat tulisan jadi tajam adalah mempersempit sudut bidik, sehingga sasaran yang diincar jadi jelas. Masalah dengan sendirinya seperti diteropong deng mikroskop. Urat-uratnya pada keluar. Kadang tidak diperlukan informasi dari penulis,karena pembaca sendiri dapat menyertakan seluruh informasi yang diketahuinya tentang sudut itu, yang membuat titik itu terang dan tajam.
Menajamkan tulisan bisa pula dilakukan dengan cara sebaliknya: memperlebar sudut bidik. Sehingga seting besar dimana titik yang ditembak itu berada, bisa tergambar seluruhnya. Dengan membentangkan duduk perkara, titik itu menjadi jelas dengan sendirinya..
Menajamkan tulisan juga dapat dengan cara menghindari titik itu. Penghindaran yang disengaja ini akan menyebabkan titik itu justru memburu-buru bidikan. Dia akan mengejar pembaca dan memamerkan dirinya. Ketajaman sebagai akibat penghindaran ini memang agak spekulatip, namun sangat efektif dalam menghindari cekalan apabila situasi penulisan tidak bebas karena berbagai kendala atau sensor.
Walhasil, penajaman bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan cara mengumpulkannya (tumpulogi). Trend yang pernah dibikin Jaya Suprana, misalnya penajaman terjadi justru dengan berkutat di keliru-kelirunya. Jadilah kelirumologi.

Permainan dan Bagaimana Mengakhiri Tulisan
Kondisi jiwa pembaca selalu tak diperhitungkan dalam tulisan ilmiah, tidak ambil pusing dengan emosi suka tidak suka. Karena sasarannya adalah pembelajaran bukan permainan.
Sementara karya fiksi, features dan justru mengajak pembaca untuk bermain. Kondisi jiwa pembaca menjadi perhitungan dalam penulisan. Dengan mengajak pembaca bermain, kadang jelas gamblang, kadang misterius penuh tanda tanya, proses penyampaian menjadi peristiwa estafet. Tongkat bergulir dari tangan ke tangan sampai mencapai tangan terakhir untuk mengantarkan ke garis finish. Pelari terakhir adalah pelari yang paling jago. Sehingga menulis pada akhirnya adalah persoalan bagaimana mengakhiri dan menutup permainan. Tulisan yang cantik, lugas dan memukau, lalu diadili sekali lagi di akhir tulisan. Karena itu, menutup tulisan, sebagaimana membukanya, adalah peristiwa yang teramat penting yang memerlukan kiat dan tenaga.
Ada akhir yang dipestakan dengan kibaran bendera kemenangan. Tapi kemenangan penulis bisa berarti juga kekalahan pembaca. Dan kekalahan semacam itu tidak selamanya berarti pengakuan, penghormatan dan takluk. Bisa juga berarti antipati. Seluruh pukau yang tercipta bisa mubazir bila pembaca akhirnya merasa seluruh tulisan adalah peristiwa kekalahannya.
Ada pembaca yang merasa nikmat dalam kekalahannya. Ada penulis yang merasa menang dan kekalahan semacam itu tidak lama usianya. Yang abadi adalah kekalahan dan kemenangan yang tidak dipestakan. Bahkan disadari pun tidak. Kekalahan dan kemenangan abadi adalah kekalahan yang menang dan kemenangan yang kalah. Keduanya datang serentak dalam satu paket. Sesuatu yang nampaknya mustahil tetapi sudah kita lakukan setiap hari karena teori harmoni sudah mendarah daging dalam diri kita yang dari tradisi kita. Roh tradisi penulisan kita tak akan memerlukan banyak tenaga untuk mempraktekkannya, karena sudah ada dan sudah hidup di dalam diri kita. Semua kita tinggal memupuk dan menjaga nyalanya agar terus berkobar dalam batas bermanfaat.

Berfikir Kritis dan Proses Kreatif
Berpikir kritis adalah kewaspadaan dalam menyimak untuk mendapatkan posisi yang paling akurat dari subyek yang sedang dibahas, berpikir kritis adalah penyimakan yang waspada. Dan seluruh apa yang saya tulis  di atas adalah bagian dari proses kreatif, bagian dari berpikir kritis; tentunya menurut pemahaman saya.

(Di depan guru-guru pemenang karya tulis)
Astya Puri, 14 November 1998



PERMENUNGAN DAN PENGAPUNGAN
            Surat ini takkan mungkin bisa dikirimkan. Takkan mungkin sampai ke tanganmu. Lihat, dia tetap kutulis, untukmu – kau, yang sedang berbahagia dalam suasana pengantin baru.
Akan tetapi terkenang peristiwa yang satu itu: kau datang bersama calon suamimu dan seroang penghulu, yang begitu terburu-buru kuatir tertinggal kereta rejeki.
Tentu saja kau tahu, tak ada keberatan padaku kau memilih seroang suami untuk dirimu sendiri. Juga aku percaya, kau akan tetap ingat pesanku pada calon suamimu sebelum kau menikah di depanku: Anak ini anakku yang pertama, anak yang aku sayangi. Dahulu neneknya berharap ia jadi dokter, ternyata ia akan menjabat jadi isterimu. Jadi, setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-kali anakku dilarang atau dihalangi kalau dia mau meneruskan pelajarannya. Kedua, tidak aku ijinkau anakku dipukul atau disakiti. Ketika, anak ini kau pinta padaku untuk diperisteri secara baik-baik, kalau karena sesuatu hal kau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku.
Dan sejak itu kau tak pernah datang menjenguk aku lagi. Maaf, aku tak peranah mengingat tanggal dan bulannya. Malah nama suamimu aku tak dapat mengingat sesuku pun, apa pula pekerjaan dan pendidikannya. Walhasil semua itu terserah padamu, kau sudah memilih, juga memilih tanggungjawab.
1969 kau tinggalkan RTC  Salemba, pamit untuk memulai hidup sebagai seorang isteri. Beberqapa kali kau masih melihat ke belakang sebelum pintu raksasa itu mengantarkan  kau lepas ke jalan raya. Orang yang setelah pernikahan itu menjadi suamimu beberapa kali masih membungkuk member hormat. Dan waktu pintu raksasa itu kembali tertutup habislah sudah basa-basi itu. Kau memasuki bulan madu. Aku juga pergi. Ke pembuangan.
Bagaimana harus dinilai? Karunia? Atau Kutukan? Bila orang tak dapat membebaskan diri dari waktu yang tiga dimensi: lalu, kini dan depan?
Dulu di penjara Bukitduri, pernah aku belajar menyanyi lagu yang dibuka dengan kalimat There’s happy land somewhere – lambang hari depan untuk setiap orang. Dengan pimpinan sang harapan, dengan keringat sebagai lambing jerih payah sendiri, dengan masa kini sebagai titik tolak, dengan masa lalu sebagai pesangon, ia bergerak menuju ke Happy land somewhere. Orang tak tahu pasti. Maka juga disusul oleh And it’s just a prayer away….
Betapa indah kadang lagu-lagu itu, kalau suasana tepat dan syarat pun tidak disibuki oleh tetek-bengek.
Somewhere, anakku. Dan where to? Kau, negeri bahagia, di mana kau sesungguhnya? Orang dididik untuk percaya, negeri tujuan memang kebahagiaan itu. Dan kepercayaan yang diperoleh secara mudah juga bisa hilang dengan mudah.
16 Agustus 1969. Kau berbulan madu di Happy land yang sudah jelah. Aku ke happy land somewhere: Konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok akalu tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia.
Untuk dapat naik ke kapal dari tiga ribu lima ratus ton bobot mati ini kami harus datang ke pelabuhan Sodong di Nusa Kambangan, di tentang pelabuhan Cilacap, Wijayapura.
Tiada kan kututup mata kepalaku, juga tidak mata batinku. Kapal ini akan membawa kami bersama masa depan dalam impian dalam kepercayaan itu. Pulau Buru bukan The happy land somewhere. Dia hanya stasiun perantara. Juga untuk itu dibutuhkan kepercayaan.
Kapal mulai bersuling lambat-lambat meninggalkan Sodong dan Wijayapura. Kehidupan hutan dan gunung-gemunung Nusa Kambangan Nampak mulai bergerak. Dan pantai putihnya makin lama makin menghilang dari nagkauan mata. Bila pandangan dilepaskan ke selatan, hanya kebiruan Samudera Hindia yang terbentang, tanpa batas, sampai ke kaki langit. Bila ke utara, yang Nampak adalah tebing-tebing terjal panta selatan Jawa. Jangan dengarkan nafas mesin kapal bobrok yang terengah-engah itu.
Kami sedang berlayar, seperti nenek moyang dulu di jaman migrasi untuk menemukan daratan dan kehidupan baru. Kesadaran sajalah yang membikin diri tahu, kami sedang ada di perairan tanah air sendiri, Negara maritime dengan tiga belas ribu pulau. Kata orang, setiap di antara pulau itu adalah juga milik kami, juga setiap cangkir dari perairan antara dua samidera itu, Hindia dan Pasifik. Itu ajaran klasik di sekolah. Lebih nyata dapat dipegang adalah ucapan Petu Marzuki di RTC Salemba: Kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari kami hak untuk bernafas pun dirampas). Ajaran klasik ternyata bisa bermuka dua. Bukan  hanya laut, juga seluruh isinya. Seluruh bumi dan isinya, juga langit, garis lurus sampai akhir tatasurnya kita. Antara kenyataan dengan janji sudah tak ada status quo. Kapal kami bergoyang dan bergeleng-geleng. Kami berlayar dalam ruang dengan pintu besar dari jeuji besi, dan dikunci, dalam sekapan, daalm tiga ruang besar di bawah dek. Melihat langit pun tidak lagi ada hak, jangankan memiliki atau ikut memiliki. Sepreti orang-orang Cina yang diculik dalam kapal Kapiten Bontekoe, serperti tawanan-tawanan culikan Cina lain dalam kapal-kapal tokoh Michener yang diangkut ke Hawaii, seperti nasib empat juta penduduk Afrika dalam kapal Inggris dan Amerika, menyeberangi Atlantik dibawa ke benua baru.
Di antara delapan ratus teman sekapan dalam kapal ini, sebagaimana biasa, aku tetap merasa seorang pribadi. Dan pribadi yang masih dapat bergerak dengan sepenuh kesehatan. Terlalu banyak di antara kami belum pernah beranjak dari desanya, tak pernah melihat laut. Warganegara negara maritim ini!  Kau dengar? Warganegara yang di sekolah dasar diberitahu, mereka keturunan bangsa bahari penejelajah lautan. Sebagian besar di antara kami pada menggeletak di ambinnya atau di geladak begitu kapal memasuki laut lepas – muntah dan muntah, terkulai bergelimpangan.
Ingat kau waktu kita berangkat ke Eropa tahun 1953 dulu? Kau masih kecil berumur tiga tahun. Kau pun tak pernah mabuk laut dalam pelayaran selama 26 hari itu. Jangan tertawakan mereka yang dalam tubuhnya menanggung h.o . Banyak diantara mereka berasal dari penjara yang selama bertahun hanya member jatah makan 3 kali sekaleng semir sepatu. Ada yang dengan tinggi 160 cm, berbobot 29 kg. betapa mahal memang yang harus dibayar untuk boleh menyebut diri warganegara Indonesia. Teman-teman dari penjara-penjara Jakarta lebih beruntung, intipan mata internasional lebih leluasa. Kau belum pernah melihat bagaimana abnormal tingkah dan pikiran tubuh yang kurang dari lima puluh persen berat badan minim yang seharusnya. Dan matanya kelihatan besar melotot, terlalu besar, tapi tak semua yang dilihatnya nampak jelas, kulitnya kering, dan perbukuan-perbukuannya seperti tinju kingkong, menolehnya tidak menentu dan lamban, sedang pandangan matanya tertebar ke mana-mana tanpa tujuan pasti. Pemandangan biasa di masa pendudukan Jepang memang, dan pemandangan biasa dalam kehidupan tapol RI kurun ini. Namun, bergelimang dalam muntahan sendiri, semangat hidup mereka menyala. Tentu bukan karena porsi pertama di atas kapal nasi sepiring penuh dengan sepotong daging atau sepenuh telor: mereka ingin dapat saksikan akhir segala ini! Dan, karena hidup memang indah bagi mereka  yang tahu menggunakannya, dan bagi mereka yang punya cita-cita. Ya, biarpun sekaran ini bangun dan tidur pun perlu dapat bantuan teman-teman yang masih sehat atau setengah sehat. Orang-orang semacam kami ini pada setiap tahun belakangan ini menjelang puasa dapat dipastikan diajari oleh ulama yang didatangkan dari dunia bebas, tentang pentingnya berpuasa menahan lapar, menahan nafsu….
Kau tak pernah menderita sejak kecil. Kau anak bangsa merdeka, yang memang tidak patutu menderitakan kelaparan hanya karena ketidabecusan orang lain. Aku sendiri anak bangsa jajahan. Bila dalam hidupku pernah aku alami masa kelaparan yang panjang dan berat, wajarlah itu, biarpun makanku memang tak bisa banyak. Lapar perlu diterima sebagai sahabat yang tidak menyenangkan. Dalam sekapan di RTC Salemba dan Tangerang selama hampir 4 tahun memang aku tak begitu lapar berbanding yang lain-lain.; keluarga tetap berusaha mengirim makanan dua atau tiga kali seminggu. Dan sekalipun yang diterima tidak selamanya utuh, dikurangi untuk makan bersama kelompok makan, dan dikurangi lagi untuk dana umum seluruh penjara. Betapa keluarga-keluarga itu tidak membiarkan kami  mati kelaparan! Dan kelaparan itu sendiri apalah bedanya antara pembunuhan sistematis dengan akibat kerakusan para pejabat? Biar yang berkepentingan yang menjawab. Setidak-tidaknya, dengan jatah penjara saja, orang akan tewas. Volume makan kurang gizi?  Volume dan gizi juga senjata di tangan pembunuh. Itu di Jakarta. Bukan di Klaten atau Sukoharjo atau Pacitan atau Kebumen yang jauh dari intipan mata internasional!
Sebelum kapal berangkat meninggalkan Nusa Kambangan, kelaparan sudah bermain drama dalam usus besar. Kepala penjara Karang Tengah di pulau Nusa Kambangan pernah memanggil aku, mengajak bicara-bicara. Kesempatan untuk mengajukan perbaikan makan. Ia tidak berdaya. Kebaikannya, yang aku berterima kasih padanya, kutolah dengan modal yang satu-satunya itu: terima kasih. Ia menawarkan: kalau hanya untuk Pak Pram pribadi dan Pak Prapto, saya sanggup membantu dari dapur saya sendiri. Waktu kami dijemur hampir seharian menunggu datangnya kapal di tanah lapang pelabuhan Sodong, sambil menyaksikan teman-teman lain dihantami para petugas karena bertukaran pakaian pembagian – maklum pakaian itu tanpa mengindahkan ukuran badan yang menerima –kelaparan itu sudah sampai pada titik tinggi kegarangannya. Kami yang berjongkok pada sejulur pagar bluntas beramai-ramai merengguti daun bluntas penuh debu jalanan dan mengganyangnya mentah-mentah tanpa dicuci terlebih dahulu. Kalau air untuk mencuci pun ada; kami tak akan bisa meninggalkan barisan tanpa kena hajar. Jan jangan kau muntah melihat kami makan tikus kakus yang gemuk lagi besar itu, atau bonggol batang papaya atau bongo pisang – mentah-mentah – atau lintah darat yang ditusuk dengan lidi. Bahkan Drs. J.P. bisa menelan cicak hidup-hidup setelah dipotesi telapak kakinya yang empat. Ia ahli menangkap cicak. Dengan ibu jari dan telunjuk ia menjepit tengkuk binatang celaka itu dan hewan perangkak itu pun disorong masuk ke gua tenggorokannya. Keberanian menantang kelaparan adalah kepahlawanan tersendiri.
Kapal kami bukan seperti yang pernah kau tumpangi ke Eropa, Oldenbarneveldt, dengan kecepatan 16 mil/jam itu, juga bukan seperti Oranje membawamu pulang dari Eropa ke Jakarta. Seperti bumi dengan langit. Kapal-kapalmu dilapisi kayu terpolis mengkilat. Lantainya dibersihkan setiap hari –kapal-kapal belanda itu. Tak ada seekor kecoak Nampak merenung atau mondar-mandir menaksir dunia dengan sungutnya yang terlalu panjang. Kapalku dikuasai kecoak, siang dan malam. Kadang aku tersenyum geli mengingat betapa binatang pelari-penerbang itu, kadang lincah kadang lambat, sudah begitu Berjaya dalam ikut membonceng berkuasa atas diri kami.
Kami berasal dari banyak penjara P. Jawa. Bukan dari Jakarta saja. Dan rombongan Jakarta mendapat ruangan di hidung haluan. Ujung terdepan, tertinggi berbanding rombongan-rombongan yang lain. Paling depan sekali adalah ruang besar kamar mandi dan kakus. Betapa pun terhina dan dihina tapol RI ini, umumnya masih tahu dan ingat kebersihan yang pernah diajarkan oleh orang tua dan sekolah dasarnya. Begitu memasuki ruangan yang ditujuk, ruangan di mancung hidung haluan di bawah dek, kontan balik kanan jalan, hidung disumbat. Ruangan itu penuh bukitan kotoran manusia. Kapal ADRI XV –kapal yang masih dioperasikan! Ai! Anak-cucu bangsa bahari! Tanpa diperintah pun langsung rombongan Jakarta mulai membersihkan ruangan keparat itu. Sapu dan tong air disiapkan. Kran-kran air mulai diputar. Genangan kotoran ternyata menjelma jadi rawa lumpur. Saluran-saluran pembuangan pampat semua. Setan pun mungkin takkan tahu lagi di mana sesungguhnya lubang-lubang pembuangan itu. Kok bisa begini? Bertong-tong air tak juga mau turun, tak seperti di daerah pasang surut. Dan bila haluan terangkat ombak, air rawa buatan itu menerjang bendul-bendulnya dan membanjiri ruangan yang ditunjuk untuk kami. Dan hero-hero kotoran manusia tercengan? Terperangah? Tidak! Waktu baru masuk barak yang ditunjuk di penjara Karang Tengah, Nusa Kambangan, onggokan kotoran manusia juga yang ditemui, di seluruh barak, dari balik bendul pintu sampi ke ruangan kakusnya sendiri. Bedanya lantai barak penjara dari tanah, lantai kapal ini dari besi karatan.
Kapal kami terus terengah-engah, berderak-derak, tiga ribu lima ratus ton bobot mati. Meluncur cepat, secepat bersepeda santai keliling kota. Kadang mogok, berhenti, jadi permainan ombak di tengah laut-kapal kami, kapal Negara kepulauan terbesar di atas muka bumi!
Sekiranya kapal ini tenggelam-kami akan mati bersama, delapan ratus orang ini- dalam sekapan dengan semua pintu terkunci dari luar. Ah-ya, apa salahnya mati? Setidak-tidaknya kami masih bisa memberikan sesuatu pada dunia: cerita sensai dan bagaimana pertanggungjawab akan kembali jadi bola voley. Berapa saja jumlah dan jenis mahluk telah punah dari muka bumi? Dan tak ada yang meributkan? Berapa saja semut telah mati terinjak-injak setiap detik? Berapa pula serangga lain tumpas kena semprotan insektisida? Siapa meributkan? Juga hati ini tak perlu rebut. Jangan menyesal mengapa punya impian, merasa belum cukup dengan yang sudah ada. Sejak peristiwa 1965 itu aku telah kehilangan semua dan segala. Lebih tepat: semua dan segala ilusi. Untukku sendiri sudah aku miliki semua, sebagaimana sewaktu bayi sudah kumiliki semua dan segala untuk hidupku sebagai bayi. Dan seperti bayi-bayi selebihnya modal untuk berkomunikasiku hanyalah suaraku: jeritanku, raungan, keluhan, rengekan. Dan bila modal komunikasi itu dirampas, ah-ya, siapa yang bisa rampas hak untuk berdialog dengan diri sendiri? Dan yang dirampas itu akan berubah jadi energy lain yang akan menggaris abadi dalam hidupkku. Sentimental? Apa boleh buat, hanya batang kayu yang tak punya sentiment, kata penerjemah Rumania itu membantah seorang anggota Parlemen RI yang pernah datang ke negerinya.
Ya, sayang sekali aku tak dapat saksikan perayaan perkawinanmu. Hadiah-kawinmu pun hanya catatan semacam ini, dan tak akan sampai ke tanganmu pula. Empat tahun belakangan ini aku hanya mengikuti tudingan telunjuk orang untuk meninggali sel-sel beton atau kayu. Biar begitu tidak benar kalau tidak pernah ingat padamu. Di mana kau tinggal sekarang? Bagaimana kehidupanmu dengan suamimu? Aku tak tahu. Biar tahu pun apalah gunanya bagimu? Tapi empat tahun bukan waktu pendek dalam hidup manusia. Umur kadalpun tak sampai sepanjang itu. Di selku di penjara di Tangerang, alalt yang berhasil kutangkap kukurung dalam plastic. Ia mati tua dalam tiga setengah hari. Empat tahun tanpa tahu duduk perkara sungguh suatu kemewahan berlebihan, seperti lapisan tebal bedak pada muka buruk seorang nenek tua-renta.
Entah sudah berapa kali kapal kami dilewati kapal-kapal lain. Mungkin dari kejauhan jadi tontonan yang mengibakan, penderita kusta di tengah-tengah lalu lintas kehidupan yang sehat dan cerah. Setiap saat dalam kesadaranku terdengar nafasnya yang terengah-engah dan persendian-persendiannya yang berderak-derak. Dua kali nafasnya tak terdengar dan gigilan mesinnya yang menggeletari kulit bajanya padam. Seribu tahun yang lalu pun nenek moyang telah menjelajahi perairan ini—pasti cerita para guru sekolah itu bukan omong kosong –dengan perahu-perahu buatan tangan sendiri, dan pasti lebih bersih dari ADRI XV. Sekali lagi pasti para guru sekolah itu bukan jual koyok. Perahu—perahu layar Bugis, Makasar dan Madura sampai saat ini pun lebih tertib, sekalipun dan justru, tidak dibiayai dengan uang Negara.
16 Agustus 1969 kutinggalkan kau berbulan madu di Jawa. Aku menuju ke happy land somewhere.  Sepuluh jam sebelum mancal baru kami ketahui, happy land somewhere itu konon Pulau Buru di Maluku. Besok 17 Agustus keberangkatan kami: Hadiah ulang tahun Kemardekaan RI. Hadiah untuk mereka yang tak jemu-jemunya meyakinkan diri mereka sendiri –juga kami—bahwa kami adalah penghianat, pemutar –balik Pancasila. Dan selalu, tanpa pernah membuktikan tuduhan mereka sudah menyemburkan tabir asap: harus tahu sendiri, merasa sendiri, (karena itu) introspeksilah, mawaas diri, beriman, beragama, bersembahyang, berdoa!
Ada yang berdoa memang, ada yang mengharap, kapal ini tenggelam dihantam angin timur, dan kami mampus dimakan hiu. Itu dari golongan yang menganggap: yang mati tidak akan bicara lagi. Anggapan jaman batu berpermatakan pesona criminal. Memang kami sudah setengah atau seperempat hidup tanpa hak sipil dan tanpa makan cukup—tapi kami semua sudah membuktikan lolos berkali-kali dari lubang jarum kematian. Pada punggung masing-masing tergendong kantong, takkan pernah lepas seumur hidup, penuh-sesak dengan lambang-lambang pengalaman indrawi dan batini, kristalisasi energy yang tak bakal ikut mampus, lebih abadi dari daging dan tulang bahkan dari gading yang tak kenal retak pun. Lambang-lambang itu akan terus bicara dengan bahasanya sendiri, Levenslang Verbannen  dalam dua jilid tebal karangan seorang anonimus itu, Rumah Mati-nya Dostoyevski, Boven Digul-nya Dr. Schoonheyt, Pandawa di Kurusetra, Koestler dalam bukunya, apa pula judulnya? Darik in the Afternoon?  Mereka yang Dilumpuhkan, From land Hell to Island Hell, siapa pula pengarangnya? Laporan dari Tiang Gantungan Julius Fucik, Der Prophet-nya Anna Seghers, dan…
Biar sedikit mengsol, mari aku ceritai kau sesuatu: Rakyat Spanyollah yang pertama-tama bangkit melawan fasisme, jauh sebelum negara-negara yang menamai diri Negara demokrasi turun ke medan perang, yang melahirkan Perang Dunia II. Dan waktu Perang Dunia II usai, fasisme Jerman dan Italia dan Jepang digulung, fasisme Spanyol tetap berdiri, bahkan hidup berdampingan secara damai dengan apra pemenang PD II, malah ikut dalam persekutuan militer dalam rangka perang dingin. Memang suatu dagelan persekutuan militer baru itu. Dalam konperensi Potsdam regime Franco Spanyol oleh Sekutu dijatuhi hukuman dua puluh tahun. Begitu Perang Dunia II selesai tak ada yang mengingat hukuman yang dijatuhkan, malah berangkulan. Pragmatism Barat itu untuk kesekian kalinya mempertunjukkan jantung dan wajahnya yang demonik. Dan itu akan tetap dipertontonkan tanpa malu demi kepentingannya. Dan demi alam pikirannya yang pragmatis. Dua puluh tahun setelah benggol-benggol fasis yang tertangkap hidup pada digantung dan ditembak mati, paling tidak dua puluh tahun penjara!
Itu yang Nampak dipermukaan. Yang tidak Nampak? Adegan-adegan penjara di Spanyol dimulai dengan cerita Koestler. Bila mala hari tiba dan giring-giring berbunyi mengunjungi sel, seorang pejuang anti-fasis dengan antaran seorang padre, sampailah dia pada ajal di tangan jagalnya. Sampai berapa lama pejuang-pejuang anti fasis yang lolos dari lubang jarum mauti itu mendekam dalam penjara menunggu jatuhnya regim Franco? Dan dalam penantian itu seorang demi seorang terus dibunuhi, dari tahun 1933 sampai 1965? Dan yang mengirim makan para tahanan itu—pada mulanya isterinya, kemudian anaknya, kemudian lagi cucunya. Mereka berbaris di depan gerbang penjara Burgos itu, tiga puluh dua tahun, dan regim Franco tak juga runtuh. Penganiayaan dan penindasan terhadap para pejuang anti—fasis tetap belum jadi sejarah.
Seorang pejuang anti fasis Spanyol, yang berhasil lolos setelah mendekam selama dua puluh tiga tahun dalam tahanan Franco pada suatu kali mengunjungi Buchenwald, 1965. Memang aku juga pernah berkunjung ke situ, tapi cerita lain lagi, dan belum perlu kusampaikan padamu. Orang itu menangis. Seorang wanita datang padanya dan menyatakan keheranannya, bagaimana bisa seorang yang dua puluh tiga tahun hidup dalam penjara masih mempunyai air mata. Dia jawab “Ich weinte angesichts ihrer Toten, die die meinen und die die Toten von uns allen sind . Orang itu adalah Macros Anna. Yang kuceritakan padamu adalah pidatonya di hadapaan pertemuan sastrawan internasional di Berlin dan Weimar, Mei 1965. Yang mati itu tetap bicara, dengan cara dan jalannya sendiri.
Ya Buchenwald, Ravensbruck, Dachau, Auschwitz dan tempat-tempat permusnahan manusia itu tidak membikin yang mati menjadi bungkam. Tempat-tempat itu masih dalam satu tata surya, galaksi, dengan Indonesia. Dan kantong di punggung ini masih akan terus diisi. Sampai kapan? Seperti di Spanyol? Sepenuhnya tergantung pada ditarik-tidaknya topeng demon Barat, senjata dan modal Barat.
Memang aneh, pada 1948, di penjara Bukitduri, aku pernah berangan-angan: daripada terkurung begini, lebih baik dibuang ke Maluku. Agustus 1969 ternyata angan-angan itu jadi kenyataan kalau kapal ini tak juga tenggelam. Dan yang tidak aneh: jatah makan tepat diatur menurut pola Nusa Kambangan. Pada hari-hari pertama mendingan. Beberapa hari kemudian susut dan lauknya pun pada menyingkir kea lam arwah. Juga di kapal ini, dan untuk sisa pelayaran selanjutnya: makan dua kali dengan air cabe. Tak ada yang memprotes.  Sudah sejak permulaan kami dicoba dibikin kecil dengan ketakutan. Tanpa protes pun pembelaan sudah datang: makan terpaksa dikurangi karena jadwal pelayaran tidak cocok dengan praktek. Orang hanya mengangguk lebih dari mengerti. Mengerti tentang kerakusan mereka yang leluasa merakus.
Pelayaran itu lurus menuju ke timur. Sampai di Nusa Tenggara Barat, kapal menikung dan mengambil arah ke timur laut, langsung ke Buru. Boleh jadi benar ke Buru. Di laut Banda, kapal dua kali mogok. Antara tiga atau empat abad yang lalu orang-orang Barat sudah menjelajahi laut ini, dan aku baru sekali, dan sebagai tahanan tidak menentu pula. Bila kau ikut berlayar denganku kau akan ikut mengagumi kebiruannya di sianghari. Dan di malam hari jutaan kubik meter bintik fosfor tertuang pada kepala-kepala ombak yang kena terjang lunas. Dan semua itu hanya Nampak dari sela-sela ruji besi patrisporta. Dan kata perwira penerangan tiga hari sebelum berangkat: itu juga tanah airmu, yang kalian wajib mempertahankannya bila ada serangan dari luar. Wah!
Wah! Dalam kapal yang mengherankan karena tak juga tenggelam ini , masih sempat juga aku bersukur karena terbebas dari Nusa Kambangan, dari penjara Karang Tengah dan penjara Limusbuntu: selama dua minggu sulit mandi sebagaimana biasanya manusia khatulistiwa. Di kapal ini perut agak berisi dan air mandi melimpah seperti di rumah nenek sendiri. Kebahagiaan sekecil-kecilnya perlu juga dipelajari bagaimana menikmatinya. Biarpun ke mana mata memandang memang hanya maut yang Nampak: laut, kapal kakus, yang tak henti-hentinya berderak dan terengah, peluru, bayonet, perintah, appel, tanda pangkat, pestol, bedil, pisau komando.
Dan radio kapal itu tak henti-hentinya bergaya, sekalipun tiada orang mendengarkan lagu-lagu keroncong yang cukup memualkan, doa selamat menuju hidup baru dari seorang gerejawan. Ya, selamat untuk hidup baru, katanya.
Orang bilang, bagaimana pun dan ke mana pun kau bergerak, kuburan juga tujuannya. Siapa pernah lahir, bersama dengan kelahirannya dia dijatuhi hukuman mati. Dari Corsika, atau katakanlah dari Ecole de Guerre melalui kegemilangan kemenangan perang di berbagai negeri, melahirkan lembaga-lembaga baru dan kodenya, kata orang: semua itu adalah langkah beberapa ratus meter Napoleon dari Ecole de Guerre ke Les Invalides, kuburannya. 
Apa boleh buat, dalam kerangkeng, di atas kapal semacam ini, memang setiap kami merenungkan mati. Dan kroncong yang cengeng meliuk-liuk makin mendorong diri pada renungan itu. Kroncong sebelum kemerdekaan masih punya gairah, masih mengandung vitalitas—vitalitas bnangsa yang belum merdeka. Kroncong sehabis dan selama Rwevolusi justru tinggal jadi semacam nascisme, rangkaian kata kosong, masturbasisme. Sejajar dengan pidatoisme dan wayangisme. Berbahagialah kalian, para orator Yunani dan ROmawi! Berbahagialah kalian para penari topeng, karena secara thematic memang menolak ekspresi diri. Dan kroncong dengan lirik bombasme dalam alunan yang meliuk melolong-lolong, justru merupakan pernyataan ketiadamampuan berekspresi: sama dengan tidak ada apa-apa. Kosong.
Juga seperti enam belas tahun yang lalu di atas Oldenbarneveldt orang memerlukan datang untuk berkenalan, karena di dunia bebas dulu mereka mengenal nama itu, nama ayahmu. Memang keterkenalan tak lain dari produk sosial, bukan semata-mata tetesan keringat sendiri. Dan cukup menyebalkan keterkenalan dianggap senyawa dengan ke-tahu-segala-an, sebagai penguasa kebenaran. Mereka tak mau tahu, diri ini sama dengan mereka, sama-sama tapol, sama-sama tak tahu perkaranya sendiri, apalagi perkara orang lain. Siapa tahu sampai kapan kami dibuang? Sampai mati: atau sampai setengah pingsan saja? Kan itu semata-mata tergantung pada sudi atau tidak sudinya Barat menyimpan jantung dan wajahnya yang demonic? Menyimpan di mana? Tentu saja dalam kopeknya. Yang orang paling tahu, kebebasan itu kepentingan para yang terampas dan tertindas. Banyak orang lupa, ia pun juga kepentingan yang merampas dan mnindas. Hanya isi kepentingannya saja berbeda. Kepentingan tapol hanyalah kebebasannya, tidak lebih. Kebebasan murni. Kepentingan yang di seberang sana, wah, bermacam lagi. Tanyalah pada raja-raja modal yang sudah mengalami dan menyimpulkan segala dan semua, dan yang lebih penting: sudah mengatur semua.
Mungkin juga kemashuran bukan produk tapi limbah sosial belaka. Pelacur-pelacur termashur di dunia modern—lelaki dan perempuan—yang berhasil mendapatkan penglaris dengan sudsesnya di bidang seni, seni apa saja—hidup dalam glamour dan kelimpahan, memang tidak terkena perampasan hak sipil, penghinaan dan penindasan resmi. Para kepala Negara, diplomat, bahkan menyambut mereka dengan bangga. Kemashuran mereka telah mengalahkan ukuran moral dan politik. Tapi apalah guna mengoleskan param pada bagian memar, kalau setiap hari untuk waktu tak dapat diperhitungkan, memar itu akan datang di tempat yang sama dan ditempat selebihnya? Dan yang memar-memar menahun ini diharapkan membagi-bagikan param—param yang tak berguna bagi dirinya sendiri itu. Apa boleh buat. Bagi bangsa yang sedang meremajakan nafsunya, semua saja dianggap jadi urusannya, maka patut bisa menjawab masalah-masalahnya. Namun pengarang tetap bukan Sinterklas pembagi balsam dan param, dia cukup bersyukur bila bisa memberikan sejumput kesadaran.
Pada waktu aku masih seumur kau sekarang, aku punya seorang guru yang mashur pada masanya: Mara Sutan. Semua murid mengaguminya. Beliau sudah kakek waktu itu. Tubuhnya kecil, dan semakin kecil karena usia. Mukanya sudah kampong. Tapi mata di balik kacamata emasnya tetap berbinar. Dialah guru yang dengan perbuatan mengajar kami, segala dan semua adalah hasil kerja manusia dalam hidupnya. Hanya ketampanan, kecantikan, keayuan, hadiah gratis—lebih cepat punah dilanda usia, sama halnya dengan pretense-pretensi tentang mudan dan baru, yang akhirnya juga jadi keriput dan jompo, seperti orde—orde yang pernah ada dalam kehidupan manusia di atas buminya. Gerakan Hidup Baru semasa pendudukan Jepang, dan Gerakan Hidup Baru semasa Sukarno bahkan tidak pernah mengalami masa merangkak. Tidak melewati masa remaja, apalagi dewasa. Mendadak dilahirkan, mendadak cow  entah ke mana. Qo’it! Kata anak Betawi.
Dan pengeras suara itu terus-menerus memutar keroncong yang lembek kemanisan dan pengumuman yang sama, dan fatwa orang gereja itu, dan wejangan pejabat entah siapa yang untuk kesekian kalinya mengucapkan selamat pada kami yang sedang “menuju ke Hidup Baru.”
Kalau mengikuti jalan pikiran perwira penerangan itu, apakah kapal ini mogok di tempat, sampai ke tujuan, atau pun sampai ke dasar laut Banda, walhasil sama saja. Masih tetap di tanah air sendiri: tanah ada dan air pun melimpah. Kedamalan laut Banda memberi jaminan bahwa air itu ada. Tidak percuma kau memilih jadi warganegara Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.
Sekali lagi maafkan ayahmu karena hadiah kawin yang hanya semacam ini. Perkawinanku dengan mamamu hanyalah sebuah cerita Hadiah Kawin. Hadiah-kawin untukmu hanya permenungan dan pengapungan ini. Itupun belum tentu akan sampai kepadamu. Tak ada harganya memang dipandang dari nilai uang yang membikin banyak orang matanya jadi hijau. Nilainya terletak pada kesaksian dan pembuktian sekaligus betapa jelata jadi warganegara Indonesia angkatan pertama. Boleh jadi untuk jadi warganegara Amerika atau Brazilia tidak akan sesulit ini. Sedang kewarganegaraanmu kau peroleh cuma-cuma. Mungkin juga kau tidak perduli apa kewarganegaraanmu. Nyaris empat tahun ditahan, memasuki tahun kelima justru berangkat ke pembuangan, tanpa tahu duduk perkara. Dan dibuang sebagai hadiah ulang tahun untuk segolongan orang yang justru menghendaki kami qo’it! Mungkinkah sudah terjadi kekeliruan? Tidak, karena lebih seribu tahun lamanya wayang mengajarkan: bahkan para dewa pun bisa salah, bisa keliru, tidak kalis dari ketololan, dan korup! Apalagi Brahmin, satria, waisyia dan sudra. Dan paria tak lain dari ujung terakhir deret hitung.
Betapa lambat melintasi Laut Banda, gudang cakalang alias tongkol ini. Ikan dengan gumpalan daging perkasa itu—biar aku ceritai kau. Dalam hidupnya, jenis yang satu ini harus terus-menerus berenang dengan kecepatan paling tidak 20 mil/jam. Kalau tidak sistem saluran darahnya yang berada di bawah kulit akan beku. Dia pilih mati daripada berhenti. Dia pilih mati pada waktu tertangkap jarring. Dan di bawah sana, di gunung-gunung karang sana, di laut dalam, ikan bandeng kesukaanmu itu bertelur. Nenernya bertebaran di pantai. Orang membawanya ke pasar bila sudah besar, dan seorang mengantarkan padamu di meja-makan. Di bawah kapalku ada jutaan tongkol dan bandeng, tetapi tidak di atas piringku.
Nah sepuluh hari kami berlayar. Pulau Buru bagian selatan sudah Nampak. Memantai bagian timur pulau suatu sensai tersendiri. Bukit dan gunung berjabat-jabatan, pagar alam ganas yang bakal jadi pengurung kami, dan tanah bocel-bocel bertopi ilalang. Seorang diantara kami, member jaminan: ikan Maluku cukup bodoh dan tidak berpengalaman, kau umpani dengan batu pun akan kena. Dia sungguh seorang penghibur baik bagi mahluk kekurangan protein hewani. Dan liaht, protein hewani begitu bebas berkeliaran dalam tubuh rusa yang berkeliaran di padang ilalang tanpa batas itu sampai-sampai di puncak-puncak bukit. Pintu-pintu besi itu telah dibuka. Yang segan bangun untuk selama-lamanya karena h.o. pun bangkit dalam kebimbangan teman-temannya. Kemudian kapal menikung memasuki teluk Kayeli, luas, indah, menjorok dalam masuk ke daratan, seperti sebuah pangkalan angkatan laut yang telah ditinggalkan selama sepuluh abad. Orang bilang Kayeli pada mulanya berasal dari kata Belanda Kayoue Poeti Olie. Mungkin dongengan jahil. Tapi memang Kayeli produsen minyak kayu putih terbesar dan tertua sepanjang dikenal tulisan. Uh! Rombongan demi rombongan orang Portugis dan Belanda telah mengangkuti kuli, pala dan cengkeh dari pulau ini. Beberapa abad yang lalu. Sekarang rombongan “tentara berbaju drill kuning”, kami, tapol, datang, tidak untuk memetik buah jerih payah penduduk Buru. Waktu angin darat meniup terasa betapa lembabnya udara, menyesakkan nafas. Hati-hati dengan paru-paru, bikin jadi waspada perutmu.
Nampak Namlea, sebuah pelabuhan alami di teluk dihiasi rumah-rumah kecil seperti kardus. Suling kapal menjerit-jerit besar. Dua buah LC (landing craft) datang menjemput. Sebuah mesjid bermenara menjenguk pantai dalam kelengangannya. Tak Nampak seorangpun di Namlea. Seperti dusun—kalau menggunakan ekspresi melayu lama—sedang dikalahkan garuda.
Dari LC beberapa orang perwira naik ke kapal. Beberapa belas orang yang nampak kokoh  diperintahkan turun lebih dahulu untuk menyiapkan dapur. Perwira tertinggi pun datang pula menjemput. Dengan satu LC tapol pilihan mempelopori mendarat di pulau “Hidup Baru”, dengan segerobak perlengkapan dapur.
Mereka mendarat di Namlea yang sedang dikalahkan garuda. Satu regu prajurit divisi Pattimura menyambut mereka dengan gagang senapan dan tinju.
Nah, pengantin baru, anakku, kau boleh ucapkan padaku: selamat untukmu, papa, tapol RI yang memasuki masa pembuangan, sebagai balasan atas hadiah-kawin semacam ini. Selamat  untukmu, anakku, selamat untuk suamimu, yang aku tak ingat namanya.
Sekarang giliran ayahmu menuruni kapal, naik ke LC untuk mendarat, setidak-tidaknya bukan di somehwhere.
(disalin secara utuh dari Permenungan dan Pengapungan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, karya Pramudya Ananta Tour hal. 1-18)


KAPITALISME BANGSA SENDIRI?
SUKARNO

Didalam salah satu rapat umum saja pernah berkata, bahwa kita bukan sahadja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus djuga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah mendapat pembitjaraan didalam pers, dan sajapun mendapat beberapa surat jang minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.
Dengan segala senang hati saja memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal jang mengenai beginsel. Beginsel, jang harus dan musti kita perhatikan djikalau kita mengabdi kepada rakjat dengan sebenar-benarnja, dan ingin membawa rakjat itu kearah keselamatan.
Supaja buat pembatja soal ini mendjadi terang, dan supaja pembitjaraan kita bisa tadjam garis-garisnja, maka perlulah lebih dulu kita mendjawab pertanjaan:
Apakah kapitalisme itu?
Didalam saja punja buku-pembelaan saja pernah mendjawab: “Kapitalisme adalah stelsel pergaulan-hidup, jang timbul daripada tjara produksi jang memisahkan kaum-buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini tjara-produksi, jang oleh karenanja, mendjadi sebabnja meerwaarde tidak djatuh didalam tangannja kaum-buruh melainkan djatuh didalam tangannja kaum madjikan. Kapitalisme, oleh karenanjua pula, adalah menjebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaal-concentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrieel reserve-armee. Kapitalisme mempunjai arah kepada verelendung”, jakni menjebarkan kesengsaraan.
Itulah kapitalisme!—jang prakteknja kita bisa lihat diseluruh dunia. Itulah kapitalisme, jang ternjata menjebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tarif, peperangan, kematian,---pendek kata menjebabkan rusaknja susunan-dunia jang sekarang ini. Itulah kapitalisme jang melahirkan modern-imperialisme, jang membikin kita dan hampir seluruh bangsa-berwarna menjadi rakjat jang tjilaka!
Siapa didalam beginsel tidak anti kepada stelsel jang demikian itu, adalah menutupkan mata buat kedjahatan-kedjahatan kapitalisme jang sudah senjata-njatanja itu. Tiap-tiap orang, jang mempunyai beginsel jang logis, haruslah anti kepada stelsel itu. Sebab,--sekali lagi saja katakana---, stelsel itu ternjata dan terbukti stelsel jang menjilakakan dunia.
“Ja”, orang menjahut, “tetapi kapitalisme bangsa sendiri? Kapitalisme bangsa sendiri jang bisa kita pakai untuk memerangi imperialism? Djalankan perdjoangan kelas alias klassenstrijd?”
Dengan tertentu disini saja menjawab: Ja, kita harus djuga anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu! Kita harus djuga anti isme jang ikut menjengsarakan Marhaen itu. Siapa mengetahui keadaan kaum buruh diindusti batik, rokok-kretek, dan lain-lain dari bangsa sendiri, dimana saja sering melihat upah-buruh jang kadang-kadang hanja 10 รก 12 sen sehari, ---siapa mengetahui keadaan perburuhan jang sangat buruk diindustri-industri bangsa sendiri itu---, ia mustilah juga menggojangkan kepala dan dapat rasa-kesedihan melihat buahnja tjara-roduksi jang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar, ---dan orang akan menjaksikan sendiri “rahmat-rahmatnja”tjara produksi itu.
Seorang nasionalis, djustru karena ia orang nasionalis, haruslah berani membukakan mata dimuka keadaan jang njata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus memperhatikan perkataan-perkataan Gandhi jang saja sadjikan tempo hari: nasionalismeku adalah kemanusiaan. Ia harus SOSIO-nasionalis,---jakni seorang nasionalis jang mau memperbaiki masjarakat dan jang DUS anti segala stelsel jang mendatangkan kesengsaraan kedalam masjarakat itu. Ia harus sebagai Jawahraial Nehru jang berkata:
“Saja seorang nasionalis. Tapi saja juga seorang sosialis dan republikein. Saja tidak pertjaja pada radja-radja dan ratu-ratu, tidak pula kepada susunan masjarakat jang melahirkan radja-radja-industri jang pada hakekatnja berkuasa lebih besar lagi daripada radja-radja dizaman sediakala. Saja nistjaja mengerti, bahwa Congress belum bisa mengadakan program sosialistis jang selengkap-lengkapnja. Tetapi susunan masjarakat diseluruh dunia. India nistjaja akan mendjalankan tjara-tjara sendiri, dan menjotjokkan tjita-tjita sosialis itu kepada keadaan penduduk India seumumnja.”
Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia jang mampu? Sama sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”,--kita memerangi stelsel. Dan tidak tiap-tiap orang jang mampu adalah mendjalankan kapitalisme. Tidak tiap-tiap orang jang mampu adalah karena meng-ekslpoitasi orang lain. Tidak tiap-tiap orang mampu adalah mendjalankan tjara-produksi sebagai jang saja terangkan dengan singkat (dengan menjitat dari pembelaan) diatas tahadi. Dan tidak tiap-tiap orang mampu adalah ikut atau hidup didalam idiologi kapitalisme, jakni didalam akal, fikiran, budi, pekerti kapitalisme. Pendek, tidak tiap-tiap orang mampu adalah djendral atau sersan atau serdadu kapitalisme!
Dan apakah prinsip kita itu berarti, bahwa kita ini harus mementingkan perdjoangan kelas? Djuga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perdjoangan nasional, perdjoangan, kebangsaan.
Hal ini saja terangkan dalam karangan saja jang akan datang.
(Disalin utuh dari buku “di Bawah Bendera Revolusi”, Sukarno 1963:181-183) 



0 komentar:

Posting Komentar